Di dalam Serat Dewa Ruci, terdapat sebuah adegan kisah yang menjelaskan tentang empat tingkatan nafsu atau jiwa manusia. Yaitu nafsu amarah, supiyah, aluamah/ lawwamah, dan mutmainah.
Kisah Dewa Ruci ini sudah ada sejak lama, kurang lebih sejak masa pra-Islam yang kemudian ditulis ulang oleh R. Ng. Yasadipura I pada akhir abad ke-17. Nukilan kisah tersebut adalah pelajaran yang dikemas dalam bentuk simbol. Werkudara adalah manusia yang sedang menempuh upaya sembah catur yang sudah sampai pada tahapan sembah cipta atau tarekat. Untuk bisa berhasil dalam upaya sembah cipta, ia harus masuk ke dalam hatinya sendiri, seperti halnya Werkudara yang masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci.
Yang lebih utama dari kisah ini adalah memahami makna simbol, lalu menerapkannya dalam kehidupan nyata. Tentunya dengan memahami empat nafsu tersebut, lalu mengendalikannya sebaik mungkin. Bukan sekedar melihat simbol-simbolnya yang berupa cahaya.
Tentang Nafsu Amarah
Nafsu yang dilambangkan dengan cahaya berwarna hitam ini memiliki sifat paling kuat dan sangat membahayakan. Ia dapat mengajak manusia untuk menuruti hawa kemarahan dan kebencian hingga berujung pada permusuhan.
Pada dasarnya, setiap manusia memiliki hawa nafsu seperti ini dan sudah menjiwa sejak azal karena merupakan salah satu organ batin. Tugas manusia adalah menjaga agar dapat mengendalikan, bukan yang dikendalikan. Seseorang yang sudah terbiasa masuk ke dalam hatinya sendiri dan menikmati keheningan pasti bisa mengendalikan nafsu amarahnya karena terbiasa dengan suasana heneng dan hening sehingga akan sareh (sabar). Namun, jika seseorang tidak pernah masuk ke dalam hatinya sendiri, apalagi orientasi hidup hanya ditujukan pada pemuasan keinginan duniawi, bisa dipastikan ia akan sulit mengendalikan kemarahan. Bisa jadi membabi buta hingga memadamkan logika.
Sesungguhnya manusia dapat menilai dirinya sendiri. Jika masih suka mengumbar emosi dan kemarahan, itu artinya jiwa ini masih didominasi nafsu amarah. Sebaliknya, jika seseorang sudah mampu mengendalikan amarah, sudah bisa menguasai diri meskipun direndahkan atau dihina, artinya ia sudah bisa menjadi orang yang kadzim, bisa menahan marah meskipun rasa marah itu tetap ada.
Lebih bagus lagi jika benar-benar bisa mengendalikan amarah itu sehingga selalu tenang dalam keadaan apapun –bahkan ketika berperang sekalipun tidak didasari dengan rasa marah atau benci melainkan kewajiban –inilah yang termasuk orang sabar. Apabila sulit dicapai, setidaknya jangan sampai dikuasai nafsu amarah sehingga menjadi mudah tersinggung, emosional, dan tidak bisa menguasai diri untuk melampiaskan amarah tersebut.
Sebagaimana diketahui, standar untuk berhasil dalam sembah cipta adalah bisa menjadi orang yang kadzim (bisa menahan marah) atau bisa menguasai diri meskipun rasa marah itu masih di dalam hati. Seseorang yang masih suka melampiaskan kemarahan hingga merugikan pihak lain artinya masih di bawah standar.
Mari bersama-sama memulai langkah pengendalian diri dari rasa marah dengan cara ‘masuk ke dalam hati’ sebagaimana Werkudara masuk ke dalam tubuh Dewaruci.
Sempatkan untuk duduk diam, melepaskan diri dari raga sehingga serasa menjadi berbadan suksma (angraga sukma). Masuki alam keheningan dengan melafalkan Asma Tuhan di dalam hati secara syahdu. Jika ini bisa rutin dilatih, setidaknya kita bisa mengendalikan diri untuk tidak melampiaskan amarah hingga merugikan orang lain.
Usahakan berhasil karena pengendalikan diri dari nafsu amarah adalah syarat untuk bisa mengendalikan nafsu berikutnya, yakni nafsu supiyah.
Diambil dengan perubahan, dari: Makrifat Jawa (Jogja Bangkit Publisher, 2017), Agus Wahyudi
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :