Menggapai Makrifat dengan Sembah Catur (Bagian IV)

Istilah makrifat berasal dari kata ma’rifah, yang dalam Bahasa Arab artinya ‘tahu’ atau ‘pengetahuan’. Di dalam konteks tasawuf, makrifat berarti ‘tahu, paham, dan sadar tentang eksistensi ketuhanan’.

Artinya, orang yang sudah bermakrifat berarti tahu tentang ilmu ketuhanan, paham dan yakin dengan setiap simbol dan fenomena ketuhanan, serta punya kesadaran dalam aplikasi (amaliyah) sehingga merasa selalu bersama Tuhan.

Makrifat atau makripat adalah derajat tertinggi dari empat derajat dalam tasawuf. Keempat derajat tersebut adalah syariat (syari’ah), tarekat (thariqah), hakikat (haqiqah), dan makrifat (ma’rifah) sendiri.

Kali ini, kita akan mengupas seputar makrifat itu sendiri, atau disebut juga Sembah Rasa.  

Sebelumnya – Menggapai Makrifat dengan Sembah Catur, Bagian III

Apa Itu Sembah Rasa atau Makrifat?

Setelah melalui puncaknya lelaku, seseorang akan sampai pada tingkatan sembah catur tertinggi, yakni Sembah Rasa. Menyembah Tuhan melalui perantara rahsa atau hati paling dalam, bisa juga disebut makrifat atau mengenal Tuhan secara sempurna.

Pada tataran Sembah Rasa atau Makrifat, seseorang sudah menjadikan madu sebagai konsumsi harian. Jadi dia selalu bergelimang madu, selalu meminumnya setiap hari, dan merasakan manfaat langsung dari minum madu tersebut.

Samengko ingsun tutur

Gantya sembah ingkang kaping catur

Sembah rasa karasa wosing dumadi

Dadine wus tanpa tuduh

Mung kalawan kasing batos

Berikutnya saya ujarkan

Beralih pada sembah yang keempat

Yakni sembah rasa untuk merasakan inti kehidupan

Terjadinya sudah tanpa petunjuk

Hanya dengan keistimewaan batin saja

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 23)

Salah satu ciri hasil makrifat sebagaimana dijelaskan dalam Serat Wedhatama adalah perasaan ‘berjalan tanpa petunjuk’ seperti orang yang sudah hapal betul tiap jalan di kotanya. Mulai dari jalan raya hingga gang sempit. Al Quran, kitab suci pedoman sejati itu,s udah ada dalam batinnya. Alhasil, peta atau petunjuk lain agar tidak tersesat tidak berguna lagi.

Namun demikian, banyak yang salah menafsirkan ‘tidak berguna lagi’ yakni Al Quran tidak diperlukan lagi. Ini tidak benar, karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa sebagaimanapun sempurnanya dia. Kitab suci tetap harus ada di samping manusia sebagai pegangan. Ibarat berkendara mengelilingi kota, jangan sampai sombong dan merasa paling tahu sampai kurang hati-hati dan mengabaikan rambu-rambu. Salah-salah malah bisa celaka karena mengabaikan rambu lalu lintas.

Banyak juga orang yang tertipu dengan mengatakan dirinya sudah sampai pada derajat makrifat. Bisa jadi itu hanya perasaannya saja, karena salah satu ciri orang yang sudah merasakan makrifat adalah menyembunyikan diri. Seseorang tersebut tidak mau mengobral ucapannya tentang makrifat agar dianggap sebagai orang hebat. Dia hanya mau berbicara tentang makrifat jika memang perlu, khususnya dalam sebuah pembelajaran.

Kalamun during lagu

Aja pisan wani ngaku aku

Antuk siku kang mangkono iku kaki

Kena uga wenang muluk

Kalamun wus padha melok

Apabila belum bisa mengalami

Jangan sekali-kali berani mengaku-aku

Yang demikian itu bisa mendapat laknat, Anakku

Silakan kalau mau berujar

Jika sudah mengalaminya sendiri

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 24)

Ada rambu-rambu khusus dalam menjalani Sembah Rasa atau Makrifat, antara lain harus memahami wekasing dumados alias awal kejadian. Atau sangkan paraning dumadi, alias asal dan tujuan kejadian. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjaga tiga sikap sebagai cerminan orang yang sudah bermakrifat, yakni menjalani hidup sewajarnya saja, pemaaf kepada sesama, dan menghindari perbuatan tercela.

Jadi apabila seseorang mengaku makrifat, tetapi tindak tanduknya berlebihan, pendendam, dan masih suka melakukan perbuatan tercela, maka kualitas makrifatnya masih dipertanyakan. Orang Jawa yang sudah benar-benar makrifat justru merasa dirinya bukan siapa-siapa, tidak juga menunjukkan kelebihan diri, tidak suka mencela orang lain, juga lemah lembut dalam bersikap.

Sikap lemah lembut dan menyembunyikan kebaikan diri sendiri ini pada dasarnya sudah watak orang Jawa, apalagi yang sudah bermakrifat. Semua ini tidak lepas dari rasa kedekatan yang mendalam kepada Tuhan. Diri yang sudah tahu sejatinya adalah tajalli (penampakan) Tuhan dan Tuhan yang menampakkan diri (bertajalli) dalam dirinya, sudah mengerti dan yakin pula tentang hakikat dirinya sehingga bisa memahami hakikat Tuhannya.

Dadya wruh iya dudu

Yeku minangka pandaming kalbu

Ingkang mbuka ing kijabullah agaib

Sesengkeran kang sinerung

Dumunung telenging batos

Rasaning urip iku

Krana momor pamoring sawujud

Wujudulloh sumrambah ngalam sakalir

Lir manis kalawan madu

Endi arane ing kono

Endi manis endi madu

Yen wis bisa nuksmeng pasang semu

Pasamuwaning heb ingkang Maha Suci

Kasikep ing tyas kacakup

Kasat mata lair batos

Ing batin tan kaliru

Kedhap kilap lilining ing kalbu

Kang minangka colok celaking Hyang Widhi

Widadaning budi sadu

Pandak panduking liru nggon

Menjadi tahu yang tersembunyi

Sebagai penguat keyakinan hati

Yang membuka hijab (tabir) Allah yang Gaib

Tersimpan dalam rahasia tersembunyi

Terletak di dalam pusat batin

Rasa hidup itu (dicapai)

Dengan cara manunggal sewujud

Wujud Allah meliputi alam semuanya

Bagaikan rasa manis dengan madu

Seperti itulah permisalannya

Mana manis mana madu

Jika sudah bisa menghayati perlambang itu

Sebagai kiasan tentang Yang Maha Suci

Hendaknya diikat kuat dalam hati

Meresap lahir dan batin

Dalam batin tidak keliru

Gemerlap cahaya menggoda hati

Menjadi petunjuk kedekatan dengan Tuhan

Budi akan selamat sejahtera

Merasuk beralih tempat

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 28-31)

Tidak disangkal, memasuki makrifat sama saja dengan masuk dalam rasa manunggal (persatuan) antara kawula (hamba) dan gusti (Tuhan). Orang yang sudah sukses dalam makrifat dikatakan dengan pandak panduking liru nggon atau merasuk ke lain tempat. Artinya, menjadikan diri serasa terlahir kembali sebagai manusia baru. Istilah lainnya adalah mendapat pencerahan rohani.

Keberhasilan bermakrifat ibarat telur yang hendak menetas menjadi ayam. Diri dan Tuhan ibarat putih dan kuningnya telur. Pada awalnya terpisah saat masih berada di dalam cangkang. Sama halnya manusia yang belum makrifat, terpisah dengan Tuhannya.

Namun ketika sudah diberi anugerah makrifat, ibarat telur yang sudah menetas, tanpa perlu diberi mantra atau diusahakan macam-macam, pada akhirnya telur itu pecah juga dan muncul anak ayam dari dalamnya. Inilah pengibaratan orang yang sudah berhasil dalam makrifat. Dia sudah merasakan Satu, tidak lagi berbeda antara dirinya dan Tuhan, serasa terlahir dalam wujud manusia baru yang disebut sebagai insan kamil atau manusia sempurna.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :