Menggapai Makrifat dengan Sembah Catur (Bagian III)

Istilah makrifat berasal dari kata ma’rifah, yang dalam Bahasa Arab artinya ‘tahu’ atau ‘pengetahuan’. Di dalam konteks tasawuf, makrifat berarti ‘tahu, paham, dan sadar tentang eksistensi ketuhanan’.

Artinya, orang yang sudah bermakrifat berarti tahu tentang ilmu ketuhanan, paham dan yakin dengan setiap simbol dan fenomena ketuhanan, serta punya kesadaran dalam aplikasi (amaliyah) sehingga merasa selalu bersama Tuhan.

Makrifat atau makripat adalah derajat tertinggi dari empat derajat dalam tasawuf. Keempat derajat tersebut adalah syariat (syari’ah), tarekat (thariqah), hakikat (haqiqah), dan makrifat (ma’rifah) sendiri.

Kali ini, kita akan mengupas seputar hakikat atau Sembah Jiwa.

Sebelumnya – Menggapai Makrifat dengan Sembah Catur, Bagian II

Menggapai Makrifat dengan Sembah Jiwa atau Hakikat

Sembah Jiwa dalam tradisi tasawuf disebut hakikat, yang berasal dari kata haqiqah, yang artinya kebenaran, merujuk pada nama Tuhan Al Haqq (Yang Mahabenar).

Tingkatan Sembah Jiwa dimulai dengan seseorang yang fokus mengosongkan diri dari dunia. Jalan ini disebut dengan takhalli atau pengosongan diri. Ibadah batin Sembah Jiwa kemudian dilakukan sebagai upaya untuk tahalli atau mengisi diri. Dalam hal ini, mengisi diri dengan kesadaran ilahiah. Sebagaimana penjelasan dalam Serat Wedhatama berikut ini:

Samengko kang tinutur

Sembah katri kang sayekti katur

Mring Hyang Suksma sukmanen saari ari

Arahen dipun kacakup

Sembahing jiwa sutengong

Sayekti luwih perlu

Ingaranan pepuntoning laku

Kalakuwan kang tumrap bangsaning batin

Sucine lan awas emut

Mring alaming lama maot

Berikutnya, yakni ajaran

Sembah ketiga yang saya haturkan

Diperuntukkan kepada Hyang Suksma semata

Gapailah dengan sepenuh hati

Yakni sembah jiwa, Anakku

Sungguh lebih dibutuhkan

Yang disebut sebagai puncaknya laku

Yaitu tingkah laku yang mengarah pada batin

Menjaga kesucian, awas, dan ingat

Terhadap alam nan abadi

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 16-17)

Memang benar apabila Sembah Jiwa dikatakan sebagai puncaknya lelaku, karena kelanjutan dari Sembah Cipta. Tidak mungkin seseorang masuk ke dalam Sembah Jiwa apabila belum melalui Sembah Cipta terlebih dahulu. Tidak mungkin seseorang merasakahan tahalli apabila belum takhalli dari duniawi.

Ruktine ngangkah ngukut

Ngiket ngruket triloka kakukut

Jagad agung ginulung lan jagad alit

Den kandel kumadel kulup

Mring kelaping alam kono

Penerapannya adalah dengan ngangkah, ngukut

Ngiket, dan ngruket sehingga tiga alam dikuasai

Jagad besar dan jagad kecil tergulung

Pertebal keyakinanmu, Anakku

Terhadap kilaunya alam itu

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 18)

Ketika jiwa sudah berada pada kondisi ‘hanya berorientasi kepada Tuhan saja’, atau selalu dalam niat lillahi ta’ala, lakukan praktek ngangkah, ngukut, ngiket, dan ngruket.

Ngangkah artinya menyebarkan diri, menyebarkan pandangan mata pada seluruh semesta raya, melihatnya sebagai sebuah kenyataan. Kita melihat gunung, artinya gunung itu memang ada. Kita melihat laut, artinya laut itu memang ada. Inilah inti dari ngangkah. Mengarahkan pandangan pada apa saja yang terlihat oleh mata dan mengakui bahwa semua itu memang ada dan nyata.

Setelah ngangkah, lakukan ngukut, mengumpulkan semua yang ada dalam pandangan mata dengan disertai pandangan batin, bahwa semua itu adalah wajah Tuhan.

Untuk bisa melakukan pandangan ‘wajah Tuhan’, seseorang terlebih dahulu harus mengosongkan dan menganggap diri ini sebenarnya kosong atau semu. Memang diri ini ada dan tampak nyata sebagaimana alam semesta, namun sejatinya semua hanyalah pandangan semu. Hakikatnya, apa saja yang tampak ini sekedar tajalli (penampakan diri) Tuhan saja. Artinya, hanya Tuhan yang benar-benar nyata. Ngukut atau menyatukan pandangan ini akan membawa seseorang pada keyakinan bahwa apa saja yang ada dalam kehidupan ini pada dasarnya memang satu.

Setelah berhasil ngukut, langkah selanjutnya adalah ngiket atau mengikat kuat pandangan kesatuan ini menjadi sebuah keyakinan bahwa apa saja yang dilihat dalam hidup ini sejatinya adalah Yang Satu atau Tuhan. Namun demikian, seseorang harus berhati-hati dalam menentukan. Jangan sampai gunung kemudian dikatakan sebagai Tuhan, demikian juga dengan sapi, atau anjing. Pandangan manunggal atau kesatuan sebaiknya hanya diletakkan dalam ranah keyakinan saja, tidak boleh keluar dari lisan.

Berikutnya adalah tahap ngruket atau memeluk erat-erat Yang Satu itu dengan diri kita, sehingga benar-benar menyatu, tidak terpisahkan. Apabila kondisi ini sudah tercapai, tidak ada lagi perbedaan antara kita dan Yang Satu. Selanjutnya yang muncul adalah apabila Yang Satu (Tuhan) itu telah dianggap ada, berarti kita yang tidak ada. Apabila si manusia menganggap diri ini ada, berarti Tuhan tidak ada. Kondisi kesatuan ini bisa disebut dengan ‘Aku’, sebagaimana ajaran Sri Krishna dalam Bhagavad Gita yang mengajarkan tentang Aku Sejati. Memahami falsafah ngangkah, ngukut, ngiket, dan ngruket akan mempermudah seseorang memahami pesan-pesan Sri Krishna tersebut.

Jika ngangkah, ngukut, ngiket, ngruket sudah berhasil dilakukan, itu sama artinya kita mengumpulkan ‘yang banyak’ menjadi satu dalam pandangan batin atau syuhuudul katsrah fil wahdah. Jika sudah berhasil melakukan hal ini, seseorang harus melakukan hal serupa dengan urutan dibalik, yakni ngruket, ngiket, ngukut, ngangkah.

Caranya dengan mengembalikan pandangan batin kita menuju ke pandangan lahir. Bahwa meskipun  hakikatnya satu, namun semua yang ada dalam hidup ini tetap saja ‘ada’ dalam jumlah yang banyak dan beraneka ragam.

Berhasil menjalani praktek ngangkah ngukut ngiket ngruket, akan membuat seseorang mampu menyatukan orientasi hidup duniawi dan ketuhanan. Selain itu, juga mampu menjaga keseimbangan antara raga dan jiwa. Kebutuhan raga bisa terpenuhi dengan baik, sementara kesehatan jiwa juga dapat tercapai dengan baik. Mengingat, kesehatan jiwa muncul dari rasa nyaman dan tenang.

Keadaan seseorang yang sudah masuk ke suasana luyut adalah keadaan yang sangat bagus dan tidak sembarang orang mampu mencapainya. Keadaan seperti ini digambarkan dalam Serat Dewaruci, ketika Bima yang sudah berada dalam tubuh Dewaruci menjumpai alam sangat luas tanpa batas, tanpa arah, dan tanpa atas bawah.

Bahkan, disana Bima melihat sekeliling dan menjumpai empat sinar perlambang nafsu manusia, yakni hitam, merah, kuning dan putih. Hitam melambangkan nafsu amarah, merah melambangkan nafsu supiyah, kuning melambangkan nafsu aluamah, dan putih melambangkan nafsu mutmainah. Amarah, supiyah, lawamah adalah nafsu yang merusak jika tidak dikendalikan, sedangkan nafsu mutmainah adalah nafsu yang baik.

Seseorang yang sudah memasuki suasana luyut dan sareh berarti dia sudah mampu mengendalikan ketiga nafsu yang merusak, sehingga jiwanya didominasi kekuatan nafsu mutmainah. Tahapan ini sudah tergolong tinggi, dan orang yang jiwanya mampu berada pada kondisi ini termasuk orang-orang istimewa.

Namun demikian, ternyata masih ada tingkatan yang lebih tinggi, sebagaimana digambarkan dalam Serat Dewaruci, dimana Bima mendapati keempat cahaya itu mengumpul menjadi satu dan sirna karena dikalahkan oleh satu buah sinar tanpa warna, namun terang dan menyilaukan. Bima sempat berkeyakinan bahwa sinar tanpa warna ini adalah dzat yang dicarinya. Tetapi Dewaruci menjelaskan bahwa itu bukan ‘air kehidupan’. Meski bukan akhir pencarian, sinar itu menjadi bagian penting untuk sampai kesana.

Cahaya sejati ini merupakan buah dari pengendalian diri terhadap nafsu amarah, nafsu supiyah dan nafsu lawamah, untuk sampai pada keadaan jiwa yang mutmainah (tenang). Praktek Sembah Cipta atau tarekat yang berhasil, dilanjutkan dengan terbukanya hati untuk masuk ke dalam kesadaran Tuhan, manakala diri serasa meliputi dan terliputi, menggulung dan tergulung oleh Tuhan.

Keberhasilan ini dalam pandangan tradisi kaum sufi dinilai sebagai orang yang sudah masuk ke dalam derajat perasaan haqqul yaqiin (keyakinan yang sebenar-benarnya) karena pada saat melakukan Sembah Raga atau syariat, seseorang itu sedang menuju ke ‘ilmul yaqiin (keyakinan yang didasarkan pada ilmu). Seperti orang yang belum pernah melihat dan merasakan madu, lalu diberi tahu manisnya madu, dan kemudian terus membayangkan rasa madu sesuai dengan penjelasan yang didengar.

Ketika melakukan Sembah Cipta atau tarekat, maka seseorang itu sedang menuju ke ‘ainul yaqiin (keyakinan yang didasarkan pada penglihatan). Sebagaimana orang yang sudah bisa melihat madu secara langsung, lalu membayangkan rasa madu yang manis, bahkan lebih manis dari gula. Ketika melakukan Sembah Jiwa atau hakikat maka seseorang itu kini sedang menuju ke haqqul yaqiin atau keyakinan yang didasarkan pada pengalaman langsung. Sebagaimana orang yang sudah merasakan langsung madu tersebut. Kini seseorang itu bisa tahu bagaimana manis khasnya madu yang tidak seperti gula.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :