Serat Wedhatama – Menggapai Makrifat dengan Sembah Catur

Istilah makrifat berasal dari kata ma’rifah, yang dalam Bahasa Arab artinya ‘tahu’ atau ‘pengetahuan’. Di dalam konteks tasawuf, makrifat berarti ‘tahu, paham, dan sadar tentang eksistensi ketuhanan’.

Artinya, orang yang sudah bermakrifat berarti tahu tentang ilmu ketuhanan, paham dan yakin dengan setiap simbol dan fenomena ketuhanan, serta punya kesadaran dalam aplikasi (amaliyah) sehingga merasa selalu bersama Tuhan.

Makrifat atau makripat adalah derajat tertinggi dari empat derajat dalam tasawuf. Keempat derajat tersebut adalah syariat (syari’ah), tarekat (thariqah), hakikat (haqiqah), dan makrifat (ma’rifah) sendiri.

Di dalam keyakinan orang Jawa, keempat tingkatan atau derajat ini disamakan dengan istilah sembah catur atau empat macam sembah. Keempat macam sembah tersebut adalah sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa, sebagaimana dijelaskan dalam Serat Wedhatama karangan Sri Mangkunegara IV berikut ini:

Samengko ingsun tutur

Sembah catur supaya lumuntur

Dhingin raga, cipta, jiwa, rasa, kaki

Ing kono lamun tinemu

Tandha nugrahaning Manon

Saya hendak bertutur

Empat macam sembah supaya dihayati

Yakni sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa, Anakku

Disitulah akan ditemukan

Pertanda anugerah Yang Mahatahu

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 1)

Menurut serat tersebut, jika kita mampu menjalani keempat macam sembah tersebut, kita akan mendapat anugerah sangat besar dari Tuhan, yang jauh lebih berharga dari dunia seisinya.

Kali ini, kita akan mengupas Sembah Catur yang pertama, yaitu Sembah Raga atau Syariat.

Menggapai Makrifat dengan Sembah Raga atau Syariat

Di dalam ajaran Islam, sembah raga disebut juga dengan syariat. Kata syariat (syari’ah) artinya adalah jalan raya atau jalan besar yang dapat dilalui oleh siapa saja dan kendaraan apa saja.

Ini mengandung pengertian bahwa syariat adalah tata cara beribadah yang bisa dijalani oleh siapa saja, dari orang awam sampai orang khusus (wali dan nabi).

Syariat adalah cara menyembah Tuhan dengan cara-cara tertentu dengan mengedepankan gerakan jasmani. Misalnya, mengucapkan dua kalimat syahadat secara lisan, shalat atau sembahyang dengan anggota tubuh, puasa dengan menahan mulut dari makan minum dan menahan kemaluan dari bersetubuh, dan haji dengan membawa tubuh bepergian ke Mekkah.

Di dalam keyakinan Jawa, syariat disebut sebagai sembah raga, yakni menyembah Tuhan dengan raga atau tubuh si penyembah. Sembah raga yang paling diutamakan untuk dikerjakan adalah shalat yang harus diawali dengan berwudhu atau menyucikan badan.

Sembah raga punika

Pakartining wong amagang laku

Susucine asarana saking warih

Kang wus lumrah limang wektu

Wantu wataking weweton

Sembah raga itu adalah

Tindakan orang yang melakukan laku

Kesuciannya melalui sarana air

Yang sudah lumrah adalah (shalat) lima waktu

Sebagaimana yang sudah disepakati

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 2)

Shalat sebagai wujud sembah raga yang dilakukan dengan baik sehingga berkualitas ini, memiliki banyak manfaat seperti dikatakan oleh Sri Mangkunegara IV sebagai berikut:

Lire sarengat iku

Kena uga ingaranan laku

Dhingin ajeg kapindhone ataberi

Pakolehe putraningsun

Nyenyeger badan mrih kaot

Wong seger badanipun

Otot daging kulit balung sungsum

Tumarah ing rah memarah

Antenging ati nunungku

Angruwat ruweding batos

Adapun syariat itu

Bisa juga disebut laku

Pertama rutin dan kedua tekun

Hasil yang didapat, Anakku

Membuat segar badan hingga lebih sehat

Orang menjadi sehat badannya

Juga otot, daging, kulit, dan tulang sumsumnya

Memperlancar peredaran darah

Ketenangan hati pun ikut terbantu

Membersihkan kekusutan batin

(Serat Wedhatama, Pupuh Gambuh: 7-8)

Pesan Sri Mangkunegara IV ini disampaikan jauh sebelum ilmu kedokteran membuktikan aktivitas shalat membawa banyak manfaat bagi kesehatan tubuh.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :