Benda Pusaka Sebagai Simbol Ajaran Kejawen

Di lingkup Kejawen, benda pusaka yang memiliki makna filosofis, dianggap sebagai salah satu sumber ajaran. Termasuk keris, tombak, dan payung.

Benda Pusaka Kejawen

Sebagaimana wilayah lain, Jawa memiliki benda-benda pusaka yang khas. Termasuk keris, tombak, dan payung. Pengertian pusaka disini bukan sekedar sebagai piyandel (andalan) bagi orang-orang Jawa di saat dulu mereka menghadapi musuh di medan laga, namun juga dijadikan sebagai pembangkit sugesti untuk mendapatkan rasa percaya diri.

Dalam perkembangannya, ketiga pusaka keris, tombak dan payung sekarang cenderung dijadikan hiasan. Keris dijadikan sebagai hiasan (manggaran) yang diselipkan di pinggang ketika orang-orang Jawa menghadiri atau mengikuti upacara-upacara khusus yang diwajibkan menggunakan busana Jawa. Tombak dan payung dijadikan hiasan di dalam salah satu ruangan rumah dengan diatur sedemikian rupa. Biasanya di dalam mengomposisi kedua macam pusaka, payung berada di tengah, sementara tombak berada di kiri kanan payung.

Baik sebagai piyandel maupun hiasan, ketiga pusaka Jawa yang merupakan warisan para leluhur itu bukan untuk dituhankan, melainkan layak dikaji nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya.

Dengan mengkaji nilai-nilai filosofisnya, generasi sekarang dapat memahami bahwa benda-benda pusaka merupakan salah satu ajaran kearifan dari para leluhur Jawa.

Benda Pusaka Keris

Secara filosofis, keris berbentuk luk memiliki makna jalan menuju kemanunggalan dengan Tuhan, melalui proses yang berliku-liku. Sebaliknya, keris berbentuk lurus memiliki makna jalan menuju kemanunggalan dengan Tuhan, tanpa proses yang berliku-liku.

Bila tidak sedang berperang, keris yang dikenal dengan curiga selalu bersemayam di dalam kerangka (warangka)nya. Ketika bersemayam di dalam kerangka-nya, keris mengajarkan tentang hubungan Kawula-Gusti yang sering diistilahkan curiga manjing warangka. Hubungan yang serasi. Karena tanpa keserasian, keris tidak akan bisa masuk ke dalam kerangkanya.

Selain berbentuk lurus, keris pula berbentuk luk. Jumlah luk tersebut pula mengandung sejarah filosofis. Misal, luk tiga melambangkan kemenangan. Luk tujuh melambangkan pitulungan (pertolongan) Tuhan. Luk 11 melambangkan kawelasan (kasih) Tuhan. Luk tiga belas melambangkan kesempurnaan hidup. Sebab itu, raja-raja yang akan lengser keprabon selalu memakai keris luk 13.

Dalam hal pemakaian, ketika berperang, keris selalu diletakkan di depan pinggang. Sebaliknya ketika tidak sedang berperang, keris selalu diletakkan di belakang pinggang. Ini mengandung pengertian filosofis, agar orang Jawa selalu waspada terhadap segala sesuatu yang dihadapinya.

Benda Pusaka Tombak

Tombak merupakan pusaka Jawa yang memiliki bentuk memanjang serupa lembing. Ujung tombak baik berluk maupun lurus yang dibuat dari besi tersebut menyerupai ujung keris. Sementara, landheyan (batang) tombak dibuat dari bahan kayu sana keeling yang tidak mudah patah.

Secara filosofis, tombak yang melambangkan penis yang sedang ereksi atau melambangkan hal yang sifatnya jasmaniah itu dimaknai sebagai tanda percabangan pada pohon dan sumbu antara gunung dan lembah. Tombak yang diberikan kepada seorang ksatria melambangkan kejujuran. Tombak yang berdarah diartikan sebagai gairah. Namun sebagian menganggapnya sebagai lambang pengorbanan.

Benda Pusaka Payung

Dalam Bahasa Jawa, payung memiliki padanan kata songsong. Selain sebagai alat pelindung dari hujan dan panas, payung digunakan sebagai ubarampe upacara pemakaman orang yang meninggal. Payung pula digunakan untuk melindungi raja atau panglima perang saat bertanding di medan laga.

Dari dunia pewayangan disebutkan bahwa Prabu Puntadewa memiliki pusaka payung yang bernama Kyai Tunggul Naga. Disebut pusaka, karena payung tersebut mengajarkan pada Prabu Puntadewa agar seorang raja sanggup melindungi seluruh kawula Indraprasta. Selain itu, payung tersebut mengajarkan agar Prabu Puntadewa di dalam memegang pemerintahan di Negeri Indraprasta senantiasa berlindung pada Tuhan.

Melalui uraian di muka, maka seorang raja senantiasa memiliki pusaka payung karena kedua alasan filosofis tersebut, yakni pertama, seorang raja harus melindungi seluruh rakyatnya. Kedua, seorang raja di dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin negara harus senantiasa berlindung pada Tuhan. Agar keselamatannya senantiasa terjaga dari berbagai mara bahaya.

Diambil dari: Sejarah Agama Jawa (Araska, 2019), Sri Wintala Achmad


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :