Sejak dulu, keris pusaka dianggap sebagai lambang status bagi pemiliknya. Tidak hanya diangap sebagai senjata perang saja. Bahkan untuk mengenakan sebilah keris ada aturannya sendiri. Jenis-jenis keris yang boleh dimiliki seseorang juga tidak sembarangan.
Contohnya, seorang rakyat biasa tidak boleh mengenakan keris yang diperuntukkan bagi seorang lurah. Seorang lurah tidak boleh mengenakan keris yang diperuntukkan bagi seorang bupati. Seorang senopati pun tidak boleh mengenakan keris yang diperuntukkan bagi seorang raja, sebagaimana seorang raja tidak diperkenankan mengenakan keris yang diperuntukkan bagi senopatinya.
Keris adalah bagian dari busana, sedangkan kehormatan seseorang dinilai bukan dari status keningratannya, tetapi juga dari kepantasannya dalam berpenampilan.
Sebagai kelengkapan atau perabot berbusana, pemakaian keris tergantung pada status pribadi si pemilik dalam masyarakat. Selain sanggup membayar biaya pembuatan keris, status pribadi inilah yang menentukan kepantasan keris yang dikenakan. Semakin tinggi status dan kedudukannya, maka semakin lengkap dan mewah hiasan kerisnya.
Keris Pusaka Para Raja
Keris pusaka yang diperuntukkan para raja ada tiga macam, yaitu:
- Keris pegangan sehari-hari yang bersifat pribadi
- Keris yang harus dimiliki untuk upacara kerajaan, dan
- Keris yang dipersembahkan oleh orang lain kepada sang raja.
Selain jenis keris yang dipakai sehari-hari, keris-keris lainnya disimpan dalam ruangan pusaka kerajaan.
Keris Pusaka Kerajaan
Disebut keris pusaka kerajaan adalah keris yang menjadi lambang kekuasaan dan kebesaran suatu pemerintahan. Keris semacam ini biasanya disimpan di dalam ruangan khusus yang terpisah dari pusaka lain. Baru akan dikeluarkan bila ada upacara kerajaan atau terjadi situasi yang mendesak dan berbahaya.
Sedangkan untuk pusaka berjenis tombak dan payung kebesaran, yang juga merupakan lambang kerajaan, biasanya diletakkan di belakang singgasana raja.
Contoh keris yang tergolong pusaka kerajaan ini adalah Keris Nagasasra dan Keris Sabuk Inten. Keduanya merupakan lambang kekuasaan dan kebesaran Kerajaan Majapahit. Sepasang keris ini pula yang dipercaya pernah dipakai untuk membersihkan wilayah kerajaan pada saat terjadi wabah penyakit sampar yang menyerang rakyat.
Selain dua jenis keris pusaka tersebut, ada pula keris bangsawan yang memiliki bentuk atau tanda tersendiri. Contohnya, Keris Singa Barong. Keris ini hanya boleh dimiliki oleh keluarga raja, bangsawan, bupati, dan adipati.
Beda lagi keris yang dipakai oleh para menteri dan pejabat kerajaan, serta panglima, senopati, dan prajurit. Masing-masing memiliki tanda khusus yang menandakan status mereka dan memiliki hiasan yang melambangkan derajat pemilliknya.
Sedangkan untuk para orang kaya, tetapi bukan kerabat kerajaan, hiasan kerisnya juga beda lagi. Biasanya dimiliki oleh para demang dan lurah.
Adapun keris milik seorang panembahan atau bangsawan yang sudah mandito, biasanya dibuat ber-luk tujuh atau sembilan.
Keris dengan hiasan paling sederhana biasanya dimiliki oleh para ksatria dan rakyat biasa, untuk menyesuaikan diri dengan budaya dan kebiasaan untuk merendahkan hati.
Bila dibuat khusus para ksatria, pesilat, atau pendekar, biasanya keris berbentuk sederhana, tidak menunjukkan kesan angker, tetapi memiliki kesaktian gaib yang tinggi dan mengandung energi gaib yang tajam.
Sedangkan keris untuk rakyat biasa, biasanya tidak bertuah kesaktian. Melainkan untuk perlindungan gaib, ketenteraman, kerezekian, dan kesuburan. Pembuatannya bersifat masal dan tidak mengikuti pesanan khusus.
Sesuai dengan macam-macam jenis keris tersebut, maka para empu pembuat keris pun terbagi sesuai kelasnya masing-masing. Sesuai tatanan yang diterima dan diakui oleh masyarakat dan lingkungan perkerisan, yaitu empu kerajaan, empu kelas menengah, dan empu desa.
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :