Salah satu yang mencirikan masyarakat yakni melestarikan budaya warisan nenek moyangnya. Salah satu budaya leluhur tersebut yakni upacara adat kejawen yang dilaksanakan secara turun-temurun.
Namun sesudah budaya modern mulai menjangkiti masyarakat Jawa, satu per satu upacara adat itu seperti ditelan jaman. Sungguhpun masih terdapat beberapa upacara adat yang hingga sekarang dilestarikan oleh sebagian masyarakat.
Upacara adat kejawen senantiasa berhubungan dengan tiga hal, yakni berhubungan dengan manusia, alam, serta agama (kepercayaan).
Upacara Adat Kejawen terkait Kehidupan Manusia
Sebagai hamba Tuhan yang mulia, keberadaan manusia sejak berada di rahim ibu hingga kematiannya sangat dihargai oleh masyarakat Jawa. Berbagai upacara adat dilaksanakan agar keberadaan manusia di muka bumi akan mendapatkan keselamatan dan kesentosaan; memiliki keutamaan budi, ketajaman intelektual, dan kepekaan rasa; memperoleh derajat yang tinggi; berbakti kepada Tuhan; serta mendapatkan surga.
Ketika manusia masih berupa janin di rahim ibu, masyarakat Jawa melaksanakan serentetan upacara adat, yakni: ngebor-ebori, ngloroni, neloni, ngapati, nglimani, ngenemi, mitoni (tingkeban), ngwoluni, dan nyangani. Upacara adat terutama tingkeban yang ditandai dengan siraman sepasang suami-istri, memberikan ajaran filosofis agar bayi yang kelak dilahirkan ibunya itu mendapatkan pitulungan (mitoni/ tujuh) atau pertolongan dari Tuhan. Melalui pertolongan Tuhan diharapkan agar bayi tersebut akan dilahirkan ibunya dengan selamat. Demikian pula, ibu yang melahirkannya.
Bila seorang ibu telah melahirkan bayinya, maka masyarakat Jawa kembali melakukan upacara adat, seperti mengubur ari-ari, brokohan, sepasaran, kekahan, puput puser (dhautan), selapanan, dan matangpuluh. Selama seminggu sesudah kelahiran bayi, masyarakat Jawa pula melaksanakan jagongan. Di masa silam, orang-orang lelaki yang melakukan jagongan sambil mengidungkan tembang-tembang macapat yang berisikan tentang ajaran-ajaran leluhur Jawa. Secara filosofis, acara jagongan tersebut dimaksudkan agar bayi kelak menjadi manusia yang berbudi utama dan senantiasa melakukan kebajikan sebagaimana didambakan oleh kedua orang tuanya.
Sesudah bayi berusia 40 hari hingga dua tahun, masyarakat Jawa melaksanakan upacara adat, seperti: tedhak siten, gaulan, nyetauni, dan nyapih. Ajaran filosofis dalam upacara adat tersebut, yakni agar bayi dapat beradaptasi dengan lingkungannya, dengan orang lain, serta bisa cepat mandiri. Belajar mulai tidak tergantung pada kedua orang tuanya, terutama ibunya.
Di masa anak berusia remaja, masyarakat melaksanakan upacara adat, seperti: tingalan, kitanan (laki-laki), tetesan (perempuan), sukeran atau tarapan, pasah atau pangur. Upacara adat ini menandakan bahwa anak telah memasuki usia akil balig. Dalam upacara adat kitanan, masyarakat Jawa yang memeluk agama Islam selalu menyamakan upacara mengislamkan anak. Karenanya, pada upacara adat sunatan tersebut selalu ditandai dengan pelafalan dua kalimat syahadat yang dilafalkan oleh si anak. Dari sini dapat disimpulkan bahwa upacara adat kitanan memberikan ajaran filosofis bahwa dengan berpedoman pada agama, anak kelak dapat selamat dalam menjalani hidup.
Ketika berusia dewasa baik anak lelaki maupun perempuan akan melangsungkan pernikahan. Dalam pernikahan tersebut, masyarakat Jawa senantiasa melaksanakan serangkaian upacara adat, yakni: madik, utusan, salaran, nontoni, lamaran, tedhak dinten, singsedan, srah-srahan, kumbakarnan (rubukan), pasang tarub, siraman, dodol dhawet, ngalub-alubi (paes), midodareni, ijab qabul, pahargyan, dan ngundhuh mantu. Melalui serangkaian upacara adat tersebut, ajaran filsafat yang dapat dipetik bahwa pernikahan Jawa yang memerlukan suatu proses tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Hal ini dimaksudkan agar sepasang pengantin kelak dapat hidup rukun sampai akhir hayatnya, saling mendukung dalam perbuatan kebajikan antara satu dengan lainnya, dan melahirkan anak-anak yang berguna bagi bangsa dan negara.
Penghargaan dan penghormatan masyarakat Jawa kepada manusia bukan sekedar ketika masih hidup, namun ketika sudah mati. Serangkaian upacara adat yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa kpeada manusia yang telah meninggal, yakni: bedhah bumi, surtanah, nelung dina, mitung dina, matangpuluh dina, nyatus, pendhak pisan, pendhak pindho, nyewu, dan ngekoli.
Secara filosofis, serangkaian upacara adat tersebut mengajarkan agar manusia senantiasa memberikan doa kepada sesamanya yang meninggal. Sebab doa tersebut diharapkan dapat menjadi sarana bagi seseorang yang telah meninggal akan mendapatkan suatu tempat terbaik (surga) di alam kelanggengan-Nya.
Diambil dari: Sejarah Agama Jawa (Araska, 2019), Sri Wintala Achmad.
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :