Tradisi Angon Putu – Kenali Budaya Jawa

Angon Putu merupakan bagian dari upacara tumbuk ageng. Umumnya, tradisi ini diawali dengan sungkeman bersama anak, cucu maupun cicit.


Mengenal Tradisi Angon Putu

‘Angon’ artinya menggembala, sedangkan ‘putu’ artinya cucu. Tradisi menggembalakan cucu ini hanya dilakukan oleh mereka yang jumlah cucunya sudah lebih dari 25 orang. Upacara ini sekaligus menandakan siklus kehidupan yang telah beranjak lanjut, antara usia 70 atau 80-an tahun.

Angon Putu adalah bagian dari Upacara Tumbuk Ageng. Dimana ‘tumbuk’ artinya bertepatan dan ‘ageng’ artinya agung atau besar. Pelaksanaannya terdiri dari tiga rangkaian, yaitu Angon Putu, Congkogan dan Andrawinan.

Ketiga rangkaian tersebut merupakan kegiatan yang ditujukan kepada orang tua. Mulai dari menggendong cucu, hingga membopongnya sebagai simbol kepasrahan orang tua terhadap Tuhan.

Pertama, Angon Putu

Pelaksanaannya dilakukan pagi hari. Seluruh anak turun dan cicit dilibatkan, diberi uang saku untuk dipakai jalan-jalan dan jajan di pasar. Setelah jajan, rombongan anak cucu tersebut kemudian digiring kembali ke rumah.

Kedua, Congkogan

Congkogan dilakukan menjelang sore, dengan urut-urutan sebagai berikut:

  • Kedua orang tua dicongkogi atau disangga. Berdiri di tengah halaman rumah dengan dikelilingi oleh para anak, cucu dan cicitnya.
  • Anak-anak menyangga dengan tebu wulung. Untuk mencongkog atau menyangga ini, jumlah anaknya paling tidak harus ada empat orang. Masing-masing menyangga di depan, belakang, samping kiri dan samping kanan.
  • Bila sanggaan dirasa sudah cukup kuat, keempat anak yang menyangga ini kemudian mundur menuju ke hadapan orang tua, sehingga antara anak dan orang tua berdiri berhadap-hadapan.
  • Sambil berhadap-hadapan, orang tua memberkati anak-anaknya. Pemberian berkat ini bisa berwujud macam-macam. Termasuk nasehat, semangat hidup, bahkan bisa jadi sekedar berupa anggukan kecil kepada anak-anaknya tersebut.

Congkogan sendiri dimaksudkan untuk mengumpamakan, bahwa orang tua yang sudah lanjut usia umumnya tidak lagi mampu hidup mandiri. Fisiknya sudah lemah, tidak sekuat dulu lagi. Karena itu hidupnya harus disokong atau disangga oleh para anak cucunya. Tebu wulung yang digunakan dalam upacara congkogan merupakan lambang, bahwa kehidupan hendaknya dijalani dengan kemantapan hati. Sekaligus kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ketiga, Andrawinan

Tahapan terakhir ini sekaligus menutup upacara tumbuk ageng. Dalam tradisi andrawinan, dilakukan acara pangkas tumpeng, nyebar udhik-udhik, paring wasiat, sungkeman, dhahar kembul dan wayangan sebagai puncaknya.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :