Falsafah Jawa ini mungkin sudah pernah Anda dengar. Mati sajroning urip, urip sajroning pati. Secara harfiah artinya adalah ‘mati di dalam hidup, hidup di dalam mati’.
Makna Falsafah Jawa ‘Mati Sajroning Urip’
Mati di dalam hidup adalah pandangan yang tidak asing dalam falsafah Jawa. Artinya bukan mati secara jasad, tetapi mematikan hawa nafsu dalam menjalani kehidupan.
Demikian halnya dengan ungkapan ‘hidup di dalam mati’. Setelah ruh terlepas dari raga, maka manusia akan sampai kepada sang pencipta. Itulah hidup yang abadi, dalam wujud ruh sejati.
Ajaran ‘mati sajroning urip, urip sajroning pati’ menuntut penganutnya agar bersabar. Terutama manakala menghadapi takdir Tuhan. Tiap-tiap perkara telah tercatat kejadiannya, sehingga tidak perlu disesali atau dipersalahkan. Susah senang hanyalah soal berputarnya roda kehidupan. Tidak ada yang abadi, selama manusia masih hidup di dunia.
Mengenal Empat Nafsu Manusia
Dalam diri manusia terdapat empat macam nafsu. Keempatnya disebut lauwamah, amarah, sufiyah dan mutmainah. Nafsu lauwamah meliputi rasa rakus dan nafsu makan yang mengakibatkan seseorang melupakan segala perkara dan pekerjaan.
Sedangkan nafsu amarah memiliki kecenderungan atas perasaan dengki terhadap pekerjaan orang lain. Adapun nafsu sufiyah berkekuatan mempengaruhi orang untuk memenuhi hasrat duniawinya.
Berbeda dari ketiga macam nafsu tersebut, nafsu mutmainah merupakan nafsu mulia yang bertempat di dasar sanubari. Mutmainah bersifat sabar, beriman dan beritikat selamat serta tawakal.
Nafsu mutmainah inilah yang senantiasa berperang melawan ketiga nafsu lainnya. Bila mutmainah menang, selamatlah sang hamba Tuhan. Tetapi bila pada akhirnya ketiga nafsu duniawi lah yang lebih dipentingkan, maka orang tersebut akan tersungkur dalam kesengsaraan.
Tirakat Melawan Nafsu
Ada empat lelaku yang secara tradisional diajarkan untuk memenangkan mutmainah dalam peperangan antar nafsu. Lelaku-lelaku ini disebut juga ulah tapa.
Ulah tapa yang pertama adalah dengan menerima kasih sayang Tuhan. Menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ulah tapa kedua dinamakan geniara. Artinya secara harfiah adalah ‘bertahan terhadap api’. Maksudnya, seseorang harus tetap dingin dan tenang meskipun hatinya dibakar dengan berbagai gunjingan, fitnah dan hinaan.
Ketiga adalah ulah tapa yang disebut banyuara, atau menghanyutkan diri dalam arus. Artinya, manusia harus selalu mendengarkan nasehat dan menutupi segala hal yang membawa malu bagi keluarga. Istilah Jawa untuk ulah tapa ini adalah mikul dhuwur mendhem jero.
Terakhir adalah ulah tapa ngluwat. Artinya memendam diri dalam tanah. Bukan berarti mengubur badan secara harfiah, tetapi memendam keinginan untuk menonjolkan kebaikan dirinya. Bersikap rendah hati, sabar dan mengalah dalam perselisihan.
Keempat lelaku ini memang tidak mudah. Tetapi bagaimanapun, hidup hanya berlaku satu kali untuk selamanya. Sehingga kesempatan ini selayaknya dipakai untuk menanam kebaikan yang dapat dipanen di akhirat nanti. Dengan demikian, kita tidak akan termasuk dalam golongan kaum yang merugi.
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :