Sumber-Sumber Ajaran Kejawen

Dalam ajaran Kejawen, ada beberapa sumber yang dijadikan sebagai rujukan karena memuat nilai filosofis dan etika Jawa, serta nilai edukatif. Di antara sumber-sumber ajaran Kejawen yaitu karya sastra, seni tradisi, upacara tradisi, dan aneka simbol.

Karya Sastra sebagai Sumber Ajaran Kejawen

Dalam beberapa karya sastra, terdapat muatan nilai-nilai filosofis dan etika Jawa dijadikan sebagai sumber ajaran Kejawen.

Termasuk diantaranya:

Kakawin Arjunawiwaha

Kakawin Arjunawiwaha merupakan karya Mpu Kanwa, seorang pujangga yang hidup di era pemerintahan Airlangga di Kahuripan. Pada naskah Kakawin Arjunawiwaha menyimpan nilai-nilai filosofis dan etika yang dapat dijadikan sumber ajaran Kejawen.

Beberapa ajaran yang dapat dipetik dari naskah Kakawin Arjunawiwaha, diantaranya adalah bobot, bibit, bebet dalam memilih pasangan hidup. Seseorang yang ingin berjodoh (menikah) harus menyelaraskan dengan kepribadian, pemikiran, dan cita-cita dari calon pasangannya. Bila kaidah tersebut dilanggar, maka akan berakibat buruk di dalam berumah tangga.

Kakawin Bharatayuddha

Di masa pemerintahan Jayabhaya (1135-1159), hiduplah sepasang pujangga bernama Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Melalui kedua pujangga itu, lahirlah Kakawin Bharatayuddha (1157). Berdasarkan salah satu persepsi, Kakawin Bharatayuddha yang mengisahkan peperangan Pandawa versus Korawa, dan dimenangkan Pandawa itu, merefleksikan perseteruan Kadiri dengan Jenggala, dan berakhir dimenangkan Kadiri.

Namun persepsi lain menyatakan bahwa Kakawin Bharatayuddha melukiskan prestasi Jayabhaya yang berhasil menyatukan dua wilayah warisan Raja Airlangga tersebut. Sebagai kitab kuno, Kakawin Bharatayuddha sering digunakan sebagai sumber ajaran Kejawen karena sarat nilai-nilai filosofis di dalamnya.

Dari Kitab Sabhaparwa dikisahkan bahwa Yudhistira yang dikenal sebagai manusia jujur itu harus menerima akibat buruknya sesudah kalah berjudi dengan Korawa di dalam balairung. Dalam menghadapi masalah itu, Yudhistira tidak dapat berbuat banyak selain menerima kekalahan dan akibatnya yakni menjalani hukuman pengasingan di hutan selama 12 tahun dan penyamaran setahun. Sebab dalam berjudi yang dianggap sebagai perbuatan nista itu, kelicikan sebagaimana diterapkan Sengkuni dapat dibenarkan. Dari sini dapat dipetik suatu hikmah, bahwa kejujuran harus dijalankan oleh setiap manusia pada waktu, tempat, dan peristiwa yang tepat, agar tidak berakibat buruk.

Kakawin Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama digubah oleh Mpu Prapanca. Berdasarkan analisa sejarah, penulis naskah Kakawin Nagarakretagama adalah Dang Acarya Nadendra yang merupakan bekas pembesar urusan agama Buddha di Majapahit. Ia adalah putra dari seorang pejabat Majapahit berpangkat Dharmadyaksa Kasogatan. Ia menyelesaikan naskah Kakawin Nagarakretagama saat usia tua di pertapaan lereng gunung di Desa Kamalasana.

Jika melihat kandungan yang tertuah pada pupuh-pupuhnya, Kakawin Nagarakretagama cenderung melukiskan kebesaran Raja Hayam Wuruk. Sekalipun demikian, Kakawin Nagarakretagama dianggap sebagai salah satu sumber ajaran Kejawen.

Adapun ajaran-ajaran filosofis dalam Kakawin Nagarakretagama, salah satunya yakni sebagai pemimpin negara yang arif tidak membeda-bedakan agama satu dengan lainnya, terlebih memarginalkan agama yang satu untuk membesarkan agama yang lain. Untuk menjadi seorang pemimpin negara, teladanilah Raja Hayam Wuruk. Selain melindungi agama Buddha, Hayam Wuruk melindungi agama Hindu aliran Siwa.

Dengan demikian, tenteramlah Majapahit. Karena tidak ada pertikaian antara umat beragama. Tidak ada pemberontakan atas nama adama. Karena seluruh umat merasa terlindungi di bawah naungan sang raja.

Serat Wulangreh

Sri Susuhunan Pakubuwana IV merupakan raja ketiga Kasunanan Surakarta, yang sangat tertarik pada kesusastraan. Di dalam dunia sastra, Pakubuwana IV menggubah Serat Wulangreh. Karya sastra yang tidak hanya menarik untuk dibaca atau dikidungkan, namun pula untuk diresapi makna filosofisnya.

Salah satunya yakni hendaklah kaum muda jangan bermalas-malasan dan menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk makan dan tidur. Hendaklah kaum muda untuk selalu mengenakan pakaian sekadarnya dan tidak bersikap congkak. Hanya dengan cara itu, kaum muda akan selalu waspada dan tidak mudah tergoyahkan oleh kegembiraan yang berlebihan. Kegembiraan yang akan membawa kaum muda pada jurang kesengsaraan.

Keempat karya sastra ini adalah sekedar contoh, dari sekian banyak karya sastra yang digunakan sebagai sumber ajaran Kejawen. Pengertian lain, masih terdapat beberapa karya sastra lainnya yang digubah oleh para pujangga atau mpu di eras sebelum Mataram Islam maupun sesudahnya sebagai sumber ajaran Kejawen. Seperti Serat Kalimasada karya Samin Surosentiko, Serat Dharmagandhul, Serat Gatholoco, dan masih banyak lagi.

Diambil dari: Sejarah Agama Jawa (Araska, 2019), Sri Wintala Achmad.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :