Prinsip Ajaran Kapitayan, Agama Jawa Kuno

Sebelum masuknya agama Islam, sudah ada agama kuno di Tanah Jawa. Yakni Kapitayan, yang merupakan perkembangan dari ajaran dan keyakinan terhadap Sang Hyang Taya.

Sebelumnya – Mengenal Kapitayan, Agama Jawa Kuno

Dalam ajaran Kapitayan tidak mengenal dewa-dewa seperti Hindu dan Buddha. Pada era Wali Sanga, prinsip dasar Kapitayan dijadikan sarana untuk berdakwah dengan menjelaskan kepada masyarakat bahwa Sang Hyang Taya adalah laisa kamitslihi syai’un, berdasarkan dalil Al Quran dan Hadis yang artinya sama dengan tan kena kinaya ngapa, sesuatu yang tidak bisa dilihat, juga tidak bisa diangan-angan seperti apapun.

Wali Sanga juga menggunakan istilah ‘sembahyang’ dan tidak memakai istilah salat. Sembahyang adalah menyembah ‘Hyang’. Dimana? Di sanggar. Tapi, bentuk sanggar Kapitayan diubah menjadi seperti langar di desa yang ada mihrabnya. Dilengkapi bedhug, ini pun merupakan adopsi Kapitayan. Tentang ajaran ibadah tidak makan tidak minum dari pagi hingga sore tidak diistilahkan dengan ‘shaum’ karena masyarakat tidak mengerti tapi menggunakan istilah upawasa kemudian menjadi puasa.

Orang-orang dahulu jika ingin masuk Islam cukup mengucapkan syahadat, setelah itu selamatan dengan menggunakan tumpeng. Dengan demikian, Kapitayan selalu menyeleksi atas semua yang masuk. Jangan harap bisa diterima oleh Kapitayan bila ada agama yang Tuhannya berwujud seperti manusia. Karena, alam bawah sadar mayoritas masyarakat Jawa akan menolak.

Hindu pun ketika masuk ke Jawa juga diseleksi. Ajaran Hindu yang paling banyak pengikutnya waktu itu adalah Waisnawa, pemuja Wisnu. Namun karena terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Wisnu bisa muncul dalam sosok manusia, akhirnya ajaran itu habis tergusur, digantikan ajaran Siwa yang berpandangan bahwa Tuhan tidak bisa mewujud sebagaimana manusia.

Pokok Ajaran Kapitayan

Sebagai agama, Kapitayan memiliki pokok ajaran yang diamalkan oleh para penganutnya. Perihal pokok ajaran Kapitayan adalah Hamemayu Hayuning Bawana. Menjaga atau menata keindahan jagad, baik jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhe (makrokosmos).

Dalam pemahaman orang Jawa, jagad cilik bersifat fisikal (materi), sedangkan jagad gedhe bersifat metafisikal (imateri). Bila diumpamakan manusia, jagad cilik adalah raga manusia. Sedangkan jagad gedhe adalah metafisika atau spiritual manusia. Melalui spiritualnya, manusia dapat mengenal Tuhan. Karenanya orang Jawa berpendapat bahwa di dalam hati, Tuhan bersemayam.

Agar hubungan antara manusia dengan Tuhan tetap dinamis, maka keduanya harus manunggal. Maka dalam ajaran Kapitayan, manusia yang dapat manunggal dengan Tuhan harus menyelaraskan cipta, rasa, karsanya dengan Sang Hyang Taya. Sehingga hubungan mereka seperti lampu dengan cahaya, keris dengan warangka, alu dengan lumpang, atau lingga dengan yoni.

Bila hubungan antara manusia dengan Sang Hyang Taya telah terbentuk, maka jagad akan tampak indah. Jagad akan terkelola dengan baik, dinamis, dan selaras. Tidak ada gejolak alam yang dapat menghancurkan kehidupan manusia. Untuk merealisasikan kedamaian di dunia ini, manusia diwajibkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan binatang, tumbuhan, benda mati, dan alam. Mengingat mereka merupakan citra atau ciptaan dari Sang Hyang Taya.

Seirama gerak jaman, keadaan dunia turut berubah. Ironisnya agama Kapitayan sebagai tuan rumah pernah tertekan hebat oleh para tamunya. Sebagai misal ketika zaman Kadiri, para penganut agama Hindu yang mampu merangkul penguasa berhasil menekan golongan Kapitayan sehingga harus naik Gunung Klotok dan Wilis. Pendapat ini berdasarkan artefak peninggalan Kapitayan yang tersebar di kedua gunung itu.

Pada era Kerajaan Tumapel (Singhasari), para penganut agama Hindu-Buddha menekan hebat kelompok Kapitayan hingga mengungsi ke pesisir selatan Jawa. Selanjutnya pada era Kesultanan Demak, para penganut agama Islam melakukan penetrasi dengan kelompok Kapitayan. Hal ini yang memunculkan asumsi bahwa seandainya para kelompok Kapitayan bersikukuh pada keyakinannya dimungkinkan tidak ada ajaran agama impor begitu mudah masuk di Jawa.

Ketika Buddha dipahami dari sudut pandang Jawa, kita memiliki Borobudur yang dijadikan tempat pendidikan kelas dunia pada masanya. Hal sama juga terjadi pada agama Hindu dengan Candi Prambanan dan masyarakat Balinya. Bahkan agama Islam dengan pendekatan kebudayaannya telah menjadikan Wali Sanga sebagai ulama kelas wahid di Asia Tenggara dan timbullah Islam Nusantara.

Ketika semua dijalankan dengan kaku dan harus sesuai aslinya dimana agama itu diturunkan, maka terjadilah benturan. Ketika ada seseorang yang menganggap sempurna bila agama dijalankan sesuai adat dimana ia diturunkan, maka jawabnya salah besar. Mengingat tata nilai agama tersebut bersifat universal, sedangkan adat dianugerahkan pada komunitas dan kekhususan lokasi. Sehingga jangan berharap untuk bisa hidup sempurna bila memaksakan sesuatu, terutama keyakinan, tanpa menyatupadukan dengan kultur dan karakter bangsa setempat.

Bila pemaksaan keyakinan terhadap seseorang tersebut dilakukan, maka getaran semesta akan melawan dengan hebat. Akan ada hukuman bagi siapa saja yang bersikap tidak adil dan tidak bijaksana kepada sesame. Sementara, Tuhan merupakan Sang Maha Kuasa, Sang Maha Mengetahui, atau Sang Maha Bijaksana. Lantas mengapa masih saja ada orang yang berani mengerdilkan keperkasaan-Nya dengan mengatakan, “Tuhan hanya paham bahasa atau cara kami saja?”

Akan tiba waktunya kebangkitan ajaran kuno yang pernah berjaya di masa silam. Bukan hanya di Jawa, tetapi juga di Nusantara atau dunia. Hal ini dikarenakan ajaran kuno tersebut sangat indah karena terdapat aturan hidup yang menuhankan Tuhan Yang Satu. Sebagaimana dikabarkan dalam kitab suci dari semua agama besar di dunia.

Diambil dari: Sejarah Agama Jawa (Araska, 2019), Sri Wintala Achmad.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :