Serat Nitisruti adalah buah karya Pangeran Karanggayam. Pujangga besar ini hidup pada masa Kerajaan Pajang, di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Satu riwayat bahkan menyebutkan, bahwa Panembahan Senopati dan Panembahan Seda Krapyak turut berguru kepadanya.
Isi Serat Nitisruti
Dalam Kitab Nitisruti, terdapat beberapa bab yang membahas tentang pentingnya ilmu pertahanan dan keamanan, yang kemudian diharapkan membawa ketenteraman bagi sebuah negara. Sebagai syarat utama, maka seorang pemimpin harus mampu menciptakan kondisi tenteram bagi rakyatnya.
Pangeran Karanggayam menerangkan delapan nasehat yang dituangkannya dalam Serat Nitisruti. Kedelapan nasehat tersebut antara lain adalah:
Nasehat pertama, seorang raja harus dapat menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri. Hal ini tertuang dalam bait berikut:
“Yeku tetep wong murka sawukir, yen sira mangkono iya mangsa den andela maneh, babasane sapa ta kang bangkit, amereki kori. Myang warangsasa anggung.”
Artinya:
“Jika orang semacam ini adalah orang yang serakah segunung. Bila mungkin demikian tidak mungkin akan dipercaya lagi. Merujuk dari arti bebasnya ini, bisa kita ibaratkan siapa yang mendekati pintu yang telah di makan rayap?”
Maksud Pangeran Karanggayam adalah, bahwa pemimpin yang serakah dan tidak bisa mengendalikan nafsu maka negaranya akan mudah goyah. Ketenteraman tidak terjaga, pertahanan dan keamanan negara sangat rapuh layaknya pintu yang digerogoti rayap.
Nasehat kedua, seorang pembesar haruslah mengolah budi pekerti. Sedangkan dalam tradisi Jawa, maka cara paling tepat untuk mengolah budi dan pekerti adalah lewat semedi.
“Kurang guling ing nalikeng ratri, den mindeng semadi, sinahua lampus.”
Artinya:
“Kurangi tidur di waktu malam, sering bersemadi memusatkan pikiran, jiwa, dan raga, serta ‘belajar mati’.”
Mengolah budi dan pekerti ini penting, karena akan mengajarkan seorang pemimpin agar senantiasa awas dan waspada serta tajam perasaannya. Mampu memahami segala sesuatu yang rutin, dan menyimpan rahasia yang tidak layak diungkapkan kepada khalayak.
Nasehat ketiga, seorang pemimpin haruslah tahu cara menggunakan atau menerapkan semua peralatan pertahanan. Bukan hanya senjata, tetapi juga isyarat dan ilmu pengetahuan secara umum.
Nasehat keempat, seorang pemimpin bisa melakukan olah rasa untuk mengetahui isyarat ketuhanan.
“Lir manekung ameku samadi, den kongsi udani, Dating Hyang Mahaagung. Kongsi prapteng wekasane keksi, karsaning Hyang Manon, pindha carma ingkukir bineber, munggwing kelir den kongsi udani, sasolahing ringgit, aywa sah dinulu.”
Artinya:
“Maka itu rajinlah mesu budi, bersemedi, hingga dapat mengetahui Hakekat Yang Maha Agung. Sampai tiba saat dapat melihat kehendak Yang Kuasa, kelihatan seperti gambar terukir dan dibeberkan di kelir, sampai mengetahui solah gerak wayang tanpa melihatnya.”
Seorang pemimpin haruslah rajin dan tekun, agar semua yang dikehendakinya berakhir baik. Tidak boleh mudah terpikat pada apa yang menyenangkan di hati. Harus selalu awas dan selalu memancarkan keharuman, meski ia tidak hadir secara langsung.
Nasehat kelima, seorang pemimpin harus dapat mengendalikan diri ketika terpojok.
“De kang dadi kuciwaning abdi, bilih tuna budi, bodho buteng pengung.”
Artinya:
”Seperti halnya abdi, maka yang menjadi kekurangan maupun kesalahan bagi seorang abdi, jika kurang baik budinya, ia akan menjadi bodoh, lekas marah, dan dungu.”
Salah adalah kodrat manusia. Seorang pemimpin juga bisa saja melakukan kesalahan. Tetapi ketika seorang pemimpin ketahuan berbuat salah, ia tidak boleh menjadi bingung. Agar tetap dapat melihat hal yang baik.
Nasehat keenam, seorang pemimpin harus mampu menjaga kerukunan dengan rekan-rekannya. Supaya tidak menciptakan persoalan dari dalam pemerintahan.
“Ing tyas den miratos, ngilangena sakserik ing ngakeh. Ngayemana manahing sasami, sasamining ngabdi. Priyen raket rukun. Prihen raket rukun.”
Artinya:
“Di dalam hati siap sedia untuk menghilangkan rasa sakit hati dan ketidakpuasan banyak orang, dapat menenangkan dan menenteramkan hati kawan, supaya dapat dekat, rukun dalam pergaulan.”
Nasehat ketujuh, seorang pemimpin harus dapat menghilangkan keserakahan dan selalu bersikap ramah.
“Pra linangkung muwah among tani, ingkang andhap asor, ingesoran sasolah bawane, anor raga dening anuruti saosiking janmi, lawan wacana rum.”
Artinya:
“Orang-orang besar maupun para petani yang sifatnya merendah diri, semuanya terungguli dalam segala tingkah lakunya. Teruslah melatih jiwa dan raga dengan mengikuti dan meneliti salah tingkah manusia, disertai tutur kata yang manis.”
Dalam menjamu dan bergaul, seorang pemimpin haruslah senantiasa tenang dan memperhatikan. Tidak boleh melupakan ajaran budi dari leluhur, serta dapat menjadi teladan bagi bawahan dan rakyatnya.
Nasehat kedelapan, seorang pemimpin haruslah berhati luas. Kaya akan maaf, senantiasa ramah, dan memberikan ketenteraman hati bagi sesame manusia. Sehingga ia dapat menjadi sumber segala tata krama.
“Solah tingkah karem tyas tan yukti, satemah salah ton, tilar tatakramane rinemeh, yen mangkana wekasaning wuri, tan wun sira keni, kinembong ambek dur.”
Artinya:
“Solah tingkah senang akan hal yang kurang baik itu akhirnya akan kelihatan juga, sebab tata krama lalu direndahkan. Jika demikian akhirnya kemudian manusia akan penuh dengan watak yang jahat.”
Demikian isi delapan nasehat atau ajaran kepemimpinan yang dituangkan Pangeran Karanggayam dalam Serat Nitisruti. Seseorang itu, baru dapat menjadi pemimpin yang baik, manakala ia mampu dan mau berlomba mengejar kebajikan.
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :