Dalam hidup, mengendalikan hawa nafsu itu perlu. Karena ibarat menunggang kuda, kitalah yang mengendalikan. Bukan sebaliknya.
Menunggang Kuda, Mengendalikan Hawa Nafsu
Tyas kumlungkung kumawagya
Luwih maning lamun uwis
Munggwing luhuring turangga
Ngembat watang numbak siti
Katon esthaya kadi
Kurang mungsuhing ngapupuh
Anyanderaken kuda
Mamprung aloh cerak-cerik
Kang mangkana mung samono notoging prana
Artinya:
Hati yang sombong berlebih-lebih
Apalagi bila sudah
Duduk di punggung kudanya
Membawa tombak menghujam tanah
Tampak dirinya merasa seperti
Kekurangan musuh dalam peperangan
Mengebat kudanya
Lari terbirit-birit sambil berteriak-teriak
Sampai begitulah batas keberaniannya.
(Serat Nitisruti, Sinom, bait ke-1)
Orang yang sombong ibarat menunggang kuda dan menantang semua orang untuk beradu kekuatan dengannya. Kekuatan yang dimaksud bisa berupa adu argumentasi, adu kepandaian, atau apapun yang menunjukkan kemampuannya dengan sikap yang berlebihan. Seringkali kita tidak sadar bahwa orang lain sebenarnya memiliki keunggulan dibandingkan kita, namun karena kesombongan membuat kita lupa akan kemampuan mereka. Akibatnya, jika terjadi masalah, justru kita akan malu dibuatnya. Itulah sebabnya kita harus mampu mengendalikan diri, ibarat menunggang kuda, kitalah yang mengendalikannya.
Makna simbolis kuda adalah sarana untuk mencapai cita-cita. Lantas, apa tunggangan kita untuk mencapai tujuan? Pertama adalah iman. Hanya ksatria yang beriman yang akan selamat sampai tujuan. Mengingat kuda harus dikendalikan, maka turangga juga bermakna pengendalian diri. Dilandasi iman yang kuat maka sang ksatria mampu mengendalikan diri dari segala godaan dan sukses lahir dan batin. Kedua adalah ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan maka seorang ksatria tidak punya kompetensi. Tanpa kompetensi apa yang bisa diperbuat?
Kompetensi banyak ragamnya. Mulai kemampuan olah jaya kawijayan dalam pengertian olah keprajuritan untuk bela diri dan bela negara, kemampuan tata negara untuk mengendalikan roda pemerintahan dan masih banyak lagi kompetensi teknis dan fungsional. Sarjana teknik, kedokteran, astronomi, dan lain-lain. Seorang ksatria professional harus senantiasa belajar. Belajar adalah aktivitas sampai mati. Peningkatan kompetensi harus terus dilaksanakan guna meningkatkan profesionalisme. Anggaran adalah yang ketiga. Jer basuki mawa beya. Beya dalam pengertian umum adalah dana (walaupun pengertian ‘jer basuki mawa beya’ jauh lebih luas lagi. Dia butuh anggaran untuk melaksanakan misinya. Oleh sebab itu ia perlu membuat rencana anggaran di wismanya.
Untuk dapat mengendalikan kuda di saat kita menungganginya, maka tali kendali yang harus kita pegang erat. Dalam kehidupan pengendalian diri akan segala nafsu dan ego harus kita kendalikan. Bukan dengan mengumbar nafsu, ego, dan angkara murka.
Kuda diibaratkan sebagai sarana untuk mempercepat pelaksanaan tugas rumah tangga atau memberikan bantuan bagi pengabdian, karena ‘turangga minangka lambang kalenggahan utawi papan pedamelan’ (kuda adalah lambang profesi, pekerjaan tetap sebagai sumber nafkah atau bidang tugas yang dihayati untuk kehidupan).
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :