Prasasti Wurudu Kidul – Bukti Keadilan Seribu Tahun Silam

Prasasti Wurudu Kidul adalah bukti bahwa keadilan hukum tidak kenal jaman. Jangan kira hanya karena kita di hidup di jaman modern, lantas kita memiliki penegakan hukum yang lebih baik.

Prasasti dari jaman Mataram Kuno ini mengabadikan kisah Dhanadi, yang dituduh secara tidak berdasar. Ia dituduh sebagai orang asing, sehingga harus membayar pajak lebih besar. Namun setelah serangkaian penyidikan, hakim menyatakan ia tidak bersalah.

Anehnya, jaman sekarang orang asal tuduh malah bisa dibela ribuan massa.


Kisah Dalam Goresan Prasasti Wurudu Kidul

Secara fisik, prasasti ini memang tak nampak menarik. Wujudnya bukan berupa bongkahan batu yang dipahat. Tetapi berupa lempengan logam yang digoreskan tatahan aksara. Mengingat umurnya yang sudah seribu tahun lebih, kondisinya pun sudah berkarat dan nampak berantakan.

Tetapi isi yang tertuang di dalamnya layak dijadikan pelajaran. Inilah Prasasti Wurudu Kidul, yang pertama kali diulas sekitar tahun 1935.

Ternyata bukan hanya di jaman sekarang. Di jaman dulu pun susah bila seseorang hidup sebagai warga keturunan. Terutama dalam kaitannya dengan urusan pajak. Karena di masa itu, orang asing punya kewajiban pajak yang berbeda dari orang pribumi.

Prasasti Wurudu Kidul pada masanya adalah sebuah surat sakti untuk seorang warga bernama Dhanadi. Wurudu Kidul adalah nama daerah tempat ia tinggal.

Suatu ketika, Dhanadi didatangi oleh Wukajana. Tamunya ini menjabat sebagai Samgat Maghuri atau petugas pemungut pajak yang datang dari rumah ke rumah. Melihat penampilan fisik dan rupa Dhanadi, Wukajana langsung menuduh bahwa Dhanadi adalah orang asing. Sedangkan orang asing diharuskan membayar pajak yang lebih besar.

Dhanadi yang tidak terima lantas mengadu ke pengadilan.

Hakim tidak menunggu lama. Tuduhan terhadap Dhanadi ini segera diusutnya. Semua keluarga Dhanadi dipanggil ke persidangan satu persatu. Mulai dari kakek-nenek hingga ayah-ibu. Kakeknya diperiksa secara ketat, untuk memastikan apakah ia ada darah asing. Demikian pula dengan neneknya. Bahkan seluruh warga Desa Grih, Kahuripan dan Paninglaran yang lokasinya dekat dengan Wurudu Kidul ikut dimintai keterangan.

Lewat pemeriksaan yang ketat dan seksama inilah, hakim memutuskan bahwa Dhanadi adalah benar-benar orang pribumi. Istilahnya ketika itu disebut Wwang Yukti. Sehingga kewajiban pajak yang harus ia bayarkan tidak seperti yang dikemukakan oleh petugas pajak sebelumnya.

Keputusan hakim (atau Sang Pamget Padang pu Bhadra) ini tertuang dalam lempengan logam yang kini dinamai Prasasti Wurudu Kidul. Tertanggal pada 6 Kresnapaksa, bulan Baisakha tahun 844 Saka. Atau 20 April 922 Masehi menurut penanggalan kita hari ini.

Tetapi kedzaliman petugas pajak tidak berhenti sampai disitu. Lewat tangan petugas yang lain (bernama Pamariwa), Samgat Manghuri tetap mengusik Dhanadi. Seketika bertemu, ia langsung menuduh Dhanadi sebagai anak keturunan Khmer (Kamboja). Istilahnya Wka Kmir, waktu itu. Pamariwa menuding Dhanadi sebagai anak hasil perselingkuhan antara orang asing asal Kamboja dengan perempuan pribumi. Dhanadi pun tersinggung dan kembali maju ke pengadilan.

Sang hakim mengirim surat panggilan kepada Pamariwa untuk menghadiri sidang, tetapi Pamariwa menolak hadir. Panggilan kedua pun tidak digubrisnya. Dengan demikian Samget Juru i Madandar memenangkan Dhanadi dalam kasus tersebut. Dulu tidak ada istilah ‘pemanggilan paksa’, sehingga bila yang bersangkutan mangkir dua kali, otomatis ia dinyatakan kalah perkara.

Dhanadi pun menerima surat sakti untuk kedua kalinya. Kali ini tertanggal 7 Suklapaksa, bulan Jyaistha tahun 844 Saka. Atau 6 Mei 922 Masehi menurut penanggalan sekarang.

Lewat kasus Dhanadi ini kita dapat melihat, bahwa ada upaya pemerasan yang coba dilakukan oleh petugas pajak. Dhanadi dituduh berdasarkan kulit luarnya saja, hanya karena ia nampak berbeda dari orang di jaman itu. Untungnya, nenek moyang kita termasuk pandai membentuk hakim yang jujur dan cakap.

Jika dilihat berdasarkan kitab hukum Jawa Kuno, maka Pamariwa yang mangkir dari panggilan sebanyak dua kali juga dapat dikenakan sanksi. Perbuatan menuduh tanpa dasar (atau disebut duhilatan) merupakan tindak pidana yang patut dikenai hukuman.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :