Pasemon Praja – Cara Orang Jawa Menyindir Penguasa Bag. II

Pasemon adalah cara orang Jawa melontarkan sindiran. Menilik karakter masyarakatnya yang enggan melakukan konfrontasi, maka wajar bila sindiran cenderung diberikan secara halus.


Apa Itu Pasemon?

Pasemon adalah teknik berbahasa yang membandingkan satu objek dengan objek lain. Secara halus, semu, dan tidak langsung. Demikian halnya dengan pasemon praja, yang secara khusus dilontarkan untuk menyindir penguasa.

Baca juga: Pasemon Praja Bagian I

Menyambung bahasan sebelumnya tentang pasemon praja, berikut adalah sejumlah sindiran lain yang pernah diberikan untuk mengkritik kekuasaan para raja Jawa pada masanya:

  1. Gunung Kendheng semune kenya musoni, artinya ‘Gunung Kendheng layaknya gadis sedang berhias.’ Sindiran ini diperuntukkan Pangeran Puger, yang kelak bergelar Paku Buwono I. Ibaratnya gunung kendheng yang berusia tua, sang pangeran sebenarnya telah berusia lanjut ketika merebut tahta dari sang keponakan, Amangkurat II.
  2. Lung gadhung semune rara nglikasi, artinya ‘bunga gadung layaknya gadis sedang memintal benang.’ Adalah Amangkurat IV atau Amangkurat Jawi yang mendapat sindiran ini. Maknanya, Amangkurat IV merupakan raja yang tangkas dan terampil menyelesaikan persoalan. Namun sayang ia gemar bermain perempuan.
  3. Gajah meta semune tengu lelaken, artinya ‘gajah ngamuk layaknya binatang tengu yang sedang kawin.’ Sindiran untuk Pakubuwono II ini bermakna bahwa putra Amangkurat IV tersebut memiliki nyali kecil, meskipun secara fisik ia nampak tinggi besar dan gagah perkasa. Tiap kali mendapat serangan lawan, ia akan buru-buru meminta bantuan dari penguasa di daerah lain.
  4. Panji loro semune Pajang-Mataram, artinya ‘dua pangeran layaknya Kerajaan Pajang dan Mataram.’ Adalah Perjanjian Giyanti (1755) yang digambarkan dalam gaya bahasa ini. Perjanjian tersebut secara resmi memisah keraton Jawa menjadi dua. Pakubowono di Surakarta dan Pangeran Mangkubumi di Yogyakarta (kemudian Hamengkubuwono I). Bila dilihat, maka pembagian daerah tersebut kurang lebih sama dengan wilayah Kerajaan Pajang dan Mataram jaman dulu.
  5. Rara ngangsu semune randha loro nuntuti pijer atetukar, artinya ‘gadis yang mencari air layaknya dua janda yang memburu dan saling bertengkar.’ Kalimat ini mewakili pemberontakan RM Said dan Pangeran Mangkubumi terhadap Keraton Surakarta. Keduanya berakhir menjadi raja. Mangkubumi di Yogyakarta dan RM Said mendirikan keraton Mangkunegara.
  6. Tan kober apepaes amangun sinjang, artinya ‘tidak sempat berhias dan merapikan pakaian.’ Karena semasa pemerintahan Paku Buwono IV dan V, hanya ada perang dan pertempuran saja. Keduanya tidak sempat memikirkan kesejahteraan rakyat.
  7. Kala bendu semune Semarang-Tembayat, artinya ‘jaman sengsara layaknya Semarang dan Tembayat.’ Pasemon ini menggambarkan perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda, yang membuat pihak Belanda kewalahan hingga harus mendatangkan bala bantuan dari Semarang. Perjalanan pasukan itulah yang diibaratkan perjalanan Sunan Tembayat dari Semarang ke Klaten.
  8. Tunjung putih semune pudhak sinumpet, artinya ‘teratai putih layaknya bunga pandan yang tertutup.’ Kalimat ini menggambarkan kemerdekaan Indonesia. Teratai putih dianggap sebagai pijakan baru yang suci. Mengingat kepemimpinan Soekarno yang kala itu bukanlah berasal dari golongan ningrat.
  9. Gandrung-gandrung ing lurung, andulu gelung kekendhon, keris parung tanpa karya, edolen tukokna uleng-uleng campur bawur, artinya ‘orang bisa bersantai dan bersenang-senang di jalan, tanpa terganggu peperangan, etika pergaulan semakin cair, senjata tajam tak berguna, sehingga dijual seharga makanan ringan.’ Pasemon panjang ini menunjukkan keadaan di jaman baru paska kemerdekaan.
  10. Kembang sungsang, semune pundhak setegal, artinya ‘kembang sungsang layaknya bunga pandan.’ Pasemon terakhir ini terbilang paling miris. Karena menggambarkan raja (kembang) yang tumbuh dengan akar di atas (sungsang). Paku Buwono XII pada masa itu tidak lagi memiliki kekuasaan, tetapi harus menghidupi kerabat dan keluarga besarnya yang demikian banyak. Seperti yang kita tahu, ia memiliki 37 anak dari enam istri selir.

Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :