Filosofi Jawa sesungguhnya dituturkan dalam banyak cara, termasuk lewat kuliner tradisionalnya yang beraneka rupa.
Macam-Macam Kuliner Tradisional dan Filosofi Jawa di Dalamnya
Serat Centhini menyebutkan, bahwa kuliner tradisional Jawa menurut proses pengolahannya terbagi menjadi empat macam, yakni: pertama, kuliner yang dijapit (sinujen); kedua, kuliner yang dibakar (binakar); ketiga, kuliner yang digoreng (ginoreng); keempat, kuliner yang direbus (ginodhog).
Kuliner tradisional Jawa tidak hanya enak di lidah dan mengundang gairah untuk dikonsumsi, namun juga mengandung makna filosofis yang tinggi. Diantaranya:
Urap
Kata urap (nama lain dari gudhangan) berasal dari bahasa Jawa urip, yang artinya hidup. Orang hidup bukan sekedar mengacu pada ragawinya, namun batiniah (cipta, rasa, dan karsa-nya). Dari sini dapat disebutkan bahwa sempurnanya orang hidup harus menggunakan akal budinya secara optimal untuk mencapai suatu tujuan mulia yang dibutuhkan oleh raga. Dengan raga yang terpenuhi kebutuhan (kesehatan)nya, maka manusia akan mampu memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, dan bahkan sesamanya.
Orang hidup bukan sekedar memenuhi kebutuhan ragawinya, namun pula batiniahnya. Karena itu, manusia harus selalu berupaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Sang Pemberi Hidup yang telah memberikan akal budi dan kenikmatan tak terkira kepada manusia, hingga manusia dapat hidup dalam kesempurnaan. Hidup yang memiliki kesadaran horizontal, dan sekaligus memiliki kesadaran transcendental.
Sayur bayem
Bayem (bayam) merupakan sejenis dedaunan hijau yang dikategorikan sebagai bahan sayuran. Karena bayem mengandung banyak serat dan mudah dicerna tubuh, maka akan menyebabkan kelancaran pencernaan. Menurut masyarakat Jawa, bayem berasal dari kata ayem (tenteram atau damai). Sebab itu, sayur bayem mengandung makna filosofis sebagai pembangkit rasa tenteram atau damai di dalam hati. Mengingat sayuran tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Sayur lodeh
Sayur lodeh merupakan salah satu sayur favorit bagi masyarakat Yogyakarta. Ketika acara selamatan, sayur lodeh dihidangkan karena menyimbolkan sarana tolak balak. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dua belas bahannya, yakni labu kuning, kacang panjang, terong, kluweh, daun so, kulit mlinjo, labu siam, pepaya muda, nangka muda, kubis, lembayung, dan kecambah kedelai. Angka dua belas yang terdiri dari satu dan dua, bila dijumlahkan menghasilkan angka tiga. Menurut filosofi Jawa, angka tiga merupakan upaya untuk meraih kehidupan yang dilindungi Tuhan.
Salah satu komponen pokok sayur lodeh yaitu labu kuning yang dalam Bahasa Jawa disebut waluh, dimana wal memiliki arti lepas dan luh memiliki arti air mata. Dengan demikian, waluh memiliki pengertian untuk membebaskan manusia dari penderitaan.
Sementara santan sayur lodeh yang berupa kelapa hijau biasa digunakan oleh masyarakat tradisional untuk menawarkan racun di dalam tubuh. Dengan demikian, santan dalam sayur lodeh juga menjadi simbol penawar racun duniawi, seperti kekayaan dan kedudukan yang tinggi.
Lepet
Pada prinsipnya hampir sama antara kupat dan lepet. Lepet pula dibuat dari beras yang dibungkus janur. Baik lepet (lepat) maupun kupat (ngaku lepat) mengandung ajaran yang sama, yakni agar orang Jawa suka saling maaf memaafkan satu sama lain bila terjadi suatu kesalahan.
Lemper
Lemper merupakan salah satu jajanan yang hampir selalu ada dalam setiap acara besar. Mulai dari resepsi pernikahan, khitanan, hingga pengajian. Oleh masyarakat Jawa, lemper dimaknai yen dialem atimu aja memper. Artinya, kalau dipuji, janganlah sombong. Dengan demikian, lemper memiliki ajaran kepada setiap manusia agar tidak mudah sombong saat dipuji oleh orang lain. Mengingat tidak ada manusia yang paling sempurna dan paling tinggi kemampuannya di dunia. Hanya Tuhan yang paling sempurna dan sebagai Raja Diraja di semesta raya.
Jenang abang
Jenang abang disebut juga sebagai jenang sengkala. Jenang ini sekilas mirip dengan jenang sungsum yaitu berwarna putih yang dicampur dengan gula merah dan terkadang dengan parutan kelapa di atasnya. Jenang ini disajikan saat acara penyambutan bulan baru kalender Jawa atau bulan Sura. Jenang ini melambangkan rasa syukur dan ungkapan doa penyerahan kepada Tuhan.
Selain beberapa makanan tersebut, masih banyak kuliner tradisional khas Jawa lain yang memiliki makna filosofis.
Diambil dari: Sejarah Agama Jawa (Araska, 2019), Sri Wintala Achmad
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :