Kebenaran Ilmu Kasunyatan tidak akan bertambah ketika dibenarkan orang lain, dan tidak akan berkurang saat ada yang menyalahkan.
Kepercayaan adalah reaksi dari subyek yang percaya terhadap obyek yang dipercaya. Yang percaya adalah rasa aku setiap manusia, dan yang dipercaya adalah segala sesuatu dan segenap peristiwa di luarnya.
Jadi, rasa aku dalam diri manusia yang mempercayai ilmu kasunyatan niscaya membenarkan pengetahuan tentang keberadaan sesuatu atau peristiwa yang dianggapnya telah utuh dan menyeluruh. Karena itu, meskipun anggapannya belum tentu benar atau mungkin saja salah, ia akan bersikukuh mempertahankan kepercayaannya ketika subyektivitas rasa akunya telah merasa nyaman. Jadi, benar atau salahnya ilmu kasunyatan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pembenaran orang yang rasa aku subyektifnya lebih dominan dibanding rasa aku obyektifnya.
Karena ilmu kasunyatan yang dipercayai setiap manusia berbeda-beda, banyak juga yang sering berganti-ganti dalam mempercayai ilmu kasunyatan. Namun pada akhirnya setiap orang akan mempertahankan kepercayaan terhadap ilmu kasunyatan tertentu saja. Sebab, ketika harus terus menerus berganti kepercayaan, akan membuatnya lelah berpikir (semplah) dan merasa tidak nyaman. Ketidaknyamanan semacam itulah antara lain yang berusaha dihindari setiap orang dengan cara menyalahkan kepercayaan orang lain yang berbeda dengannya.
Jadi, dalam memikirkan ilmu kasunyatan, setiap orang sesungguhnya terdorong oleh keinginan untuk mendapatkan kenyamanan yang ajeg. Hampir semua orang enggan disibukkan pencarian tentang benar atau salahnya suatu ilmu kasunyatan. Mereka memilih jalan pintas untuk percaya begitu saja terhadap ilmu kasunyatan yang sudah baku, atau bahkan yang hanya diwarisi secara turun-temurun, sehingga tidak lagi perlu energi untuk memverifikasi.
Karena itu, ketika berhenti mempercayai ilmu kasunyatan yang semula dibenarkannya, secara otomatis seseorang akan berpindah untuk mempercayai ilmu kasunyatan lain. Artinya, kadar kepercayaan setiap orang terhadap ilmu kasunyatan sesungguhnya tetap, tetapi ilmu kasunyatan yang dipercayainya berubah-ubah.
Pertanyaannya kemudian, apakah ada ilmu kasunyatan yang dapat dipercaya secara tetap dan universal? Jawabannya tentu saja ada, yaitu ilmu kasunyatan yang benar. Misalnya orang percaya bahwa dirinya merupakan sebuah wujud. Selamanya dia akan mempercayai hal itu, karena keberadaan dirinya memang benar adanya.
Berbeda dengan seorang anak kecil yang suatu ketika meminta es krim tapi ibunya menjawab dengan berbohong, “Pabrik eskrimnya sudah tutup, Sayang.” Awalnya anak itu memang mempercayai kebohongan ibunya sebagai kebenaran. Namun ketika kebohongan ibunya terus-menerus diulang setiap kali ia meminta es krim, anak kecil itu pun mulai kurang percaya. Apalagi setelah si anak kecil menyaksikan temannya tetap bisa menikmati es krim, padahal ibunya masih bersikukuh mengatakan pabrik es krimnya telah tutup.
Selain dengan cara menyaksikan, seperti pengalaman anak kecil yang dicontohkan di atas, kita dapat tetap mempercayai kebenaran ilmu kasunyatan lewat perasaan. Contohnya ketika tengah kesal karena dikecewakan seseorang atau keadaan, tentu kita bisa percaya sepenuhnya bahwa kita memang sedang kesal. Meskipun yang pasti bisa dipercaya dan dibenarkan adalah adanya rasa kesal dalam diri kita saja. Sedangkan benar-tidaknya seseorang atau keadaan itu memang sungguh telah mengecewakan kita merupakan lain soal.
Pemahaman terhadap disiplin ilmu tertentu secara tepat juga dapat menjadi dasar untuk mengetahui kebenaran ilmu kasunyatan yang berlaku secara tetap dan universal. Misalnya kita mempercayai kebenaran 2×2=4, sesuai hukum matematika yang umum dipahami. Maka kepercayaan kita terhadap pemahaman itu akan dibenarkan setiap orang yang mengerti ketentuan hitung-hitungan matematis.
Diambil dari: Kawruh Jiwa (Javanica, 2018), Muhaji Fikriono
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :