Dibalik Konflik Abangan, Santri, Priyayi

Abangan, santri, dan priyayi merupakan klasifikasi yang digali oleh Clifford Geertz dari masyarakat Jawa. Meskipun klasifikasi ini menimbulkan kritikan sehingga mengalami banyak perubahan, tetapi pemikiran Geetz cukup penting untuk kita ketahui, karena sering digunakan para ilmuwan guna menjelaskan berbagai peristiwa saat itu.

Menurut Geertz, pembagian masyarakat yang ditelitinya ke dalam tiga tipe budaya ini berdasarkan pada perbedaan pandangan hidup di antara mereka. Sub tradisi priyayi yang ditandai pengaruh Islam (priyayi cendekiawan) atau mistik, Hindu, Buddha (priyayi bangsawan) yang merupakan bagian dari birokrasi pemerintah.

Sub tradisi santri yang ditandai oleh ketaatan pada ajaran agama Islam serta keterlibatan dalam berbagai organisasi sosial dan politik yang bernapaskan Islam, dijumpai di kalangan pengusaha yang banyak bergerak di pasar maupun di desa selalu pemuka agama.

Sub tradisi abangan yang diwarnai berbagai upaya keselamatan, praktik pengobatan tradisional, serta kepercayaan kepada makhluk halus dan kekuatan gaib itu terkait pada kehidupan di pedesaan. Dengan demikian Geertz melihat adanya keterkaitan erat antara ketiga sub tradisi ini dengan tiga lingkungan, yakni desa, pasar, dan birokrasi pemerintahan.

Klasifikasi Geertz memancing berbagai reaksi. Salah satunya mengemukakan bahwa Geertz tidak secara tegas mengemukakan apakah klasifikasinya merupakan klasifikasi budaya atau klasifikasi kelompok. Sebagai klasifikasi kelompok, pembagian Geertz ini dipandang tidak memadai karena besarnya kemungkinan tumpang tindih. Dari segi ketaatan pada ajaran agama Islam, misalnya, seorang priyayi dapat diklasifikasikan sebagai santri atau abangan. Dalam dinamika sosial, diantara ketiga golongan tersebut sering ditemukan pola-pola konflik, yakni konflik ideologi, konflik kelas, dan konflik politik.

Konflik Ideologi Kaum Abangan, Santri Priyayi

Ketegangan antara kaum priyayi dengan kaum abangan dalam hal ideologi, tidak terlihat secara jelas, dibandingkan ketegangan antara kaum santri dengan kaum abangan dan kaum priyayi. Terhadap ideologi kaum santri terlihat jelas, dengan nyanyian ejekan kaum abangan yang mengisyaratkan bahwa kaum santri yang merasa memiliki moralitas lebih suci dari kaum abangan, dengan cara berpakaian sopan, seperti kerudung, namun dalam kenyataan –menurut kaum abangan- masih melakukan perbuatan yang tidak selaras dengan ajaran agama. Kaum priyayi mengkritik tentang kemunafikan santri dan intoleransi di kalangan kaum santri terhadap golongan-golongan lain dalam masyarakat.

Menurut kaum abangan, ritual keagamaan haji ke Mekkah yang dilakukan oleh kaum santri merupakan sikap yang tidak penting dan hanya membuang-buang uang. Yang lebih penting, menurut kaum abangan dan priyayi, kesucian itu ada di dalam hati, bukan di Mekkah atau di masjid.

Serangan kaum santri terhadap kedua golongan tersebut (abangan dan priyayi) tidak kalah tajam. Mereka menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala dan menuduh kaum priyayi tidak bisa membedakan dirinya dengan Tuhan, terkait dengan kecenderungan kaum priyayi untuk merumuskan nilai dan normanya sendiri yang berasal dari hati nurani, bukan berasal dari kitab suci.

Konflik Kelas Kaum Abangan, Santri, Priyayi

Ketegangan kaum priyayi dan kaum abangan terlihat jelas pada hubungannya dengan persoalan status. Kaum priyayi menuduh kaum abangan tidak tahu tempatnya yang layak, sehingga mengganggu keseimbangan organis masyarakat. Mereka menganggap bahwa kedudukan status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan kaum abangan, sehingga mereka tidak suka jika kaum abangan yang mayoritas petani, meniru gaya hidup mereka.

Namun sejak jaman pendudukan Jepang di Indonesia, kaum abangan mulai menyuarakan persamaan hak dan status sosial dengan kaum priyayi. Hal ini karena tidak adanya orang kuat dari kaum priyayi di pedesaan sebagai tokoh-tokoh kekuasaan, kekayaan, dan kesaktian magis dalam struktur masyarakat.

Konflik Politik Kaum Abangan, Santri, Priyayi

Dalam kehidupan politik, sering terdapat ketegangan hubungan diantara ketiga golongan ini, yang berawal dari berbedanya ideologi ketiga golongan. Pada masa orde baru di mana partai politik yang ada disederhanakan menjadi tiga partai, ada kecenderungan terjadinya impitan parameter antara partai dan aliran ini.

Partai Persatuan Pembangunan identik dengan kaum santri, Partai Demokrasi Indonesia identik dengan kaum abangan, dan Golkar identik dengan kaum priyayi. Ketiga varian ini sering ditajamkan dengan warna-warna mereka yang memang berbeda, kaum santri dan PPP identik dengan warna hijau, kaum abangan dan PDI identik dengan warna merah, sedangkan kaum priyayi dan Golkar identik dengan warna kuning.

Ketika asas tunggal diberlakukan di Indonesia, sehingga ketiga partai politik yang ada pada waktu itu harus menganut ideologi negara Pancasila, memang ada moderasi konflik di antara tiga golongan. Namun, tetap saja terjadi ketegangan ideologis antara kaum santri dengan kaum abangan. Pada pembahasan berbagai hal di kehidupan politik, misalnya tentang Undang Undang Perkawinan, konflik atau ketegangan antara kaum abangan dengan kaum santri sangat tajam.

Pada masa reformasi politik dengan banyak partai, memang keberadaan tiga varian itu sangat tersebar, tetapi apabila telah terjadi pergulatan ke titik-titik sentral kekuasaan, misalnya pemilihan presiden, maka segmentasi tiga warna itu menjadi terasakan kembali, bahwa akhirnya warna kehidupan politik di Indonesia seperti nampak merah, kuning, dan hijau.

Tinjauan ini tidak dimaksudkan untuk mempertajam jarak antara ketiga golongan yang pernah menjadi materi penelitian Geertz. Mengingat ketiga golongan tersebut seperti tampak mulai berbaur dan semakin bias jaraknya di masa sekarang.

Selain itu, bahasan mengenai Trikotomi Clifford Geertz ini bukan untuk mengingatkan konflik ketiga golongan tersebut yang sempat meruncing di era pemerintahan Soeharto, dimana mereka diidentikkan dengan tiga partai, yakni PPP (santri), Golongan Karya (priyayi), dan PDI (abangan). Pengertian lain, bahasan ini sekedar sebagai pengetahuan bagi publik yang belum mengetahui trikotomi tersebut.

Hal lain yang tidak kalah menariknya, bahwa balasan mengenai trikotomi Clifford Geertz menjadi salah satu bagian penting di dalam menyampaikan sejarah perkembangan agama Jawa dari masa ke masa yang belakangan menjadi perhatian serius baik di kalangan agamawan, sejarawan, maupun publik.

Diambil dengan perubahan dari: Sejarah Agama Jawa (Araska, 2019), Sri Wintala Achmad.


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :