Meski sempat berjaya, namun usia Kesultanan Mataram tidak seberapa lama. Konflik demi konflik terus terjadi, hingga akhirnya Mataram harus dibagi dua. Antara Yogyakarta dan Surakarta.
Artikel sebelumnya di Pecahnya Kesultanan Mataram – Bagian I
Jatuhnya Kesultanan Mataram dan Politik Adu Domba VOC
Sepeninggal Amangkurat II, Mataram dipimpin oleh Amangkurat III yang bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Mas. Meski Amangkurat III dikenal menentang VOC, namun cara memerintahnya juga cenderung tidak banyak disenangi.
Dengan pengaruh yang terlanjur dimilikinya ketika itu, pihak VOC mengangkat raja tandingan. Sosok yang diangkat ini adalah Sri Susuhunan Pakubuwana I. Sehingga sejak saat itu, Kesultanan Mataram praktis memiliki dua raja (1704).
Setahun setelahnya, Pakubuwana I menyerang Kartasura dengan gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura dan Surabaya. Pihak Kartasura sendiri bertahan dengan pimpinan Arya Mataram, yang tidak lain dan tidak bukan adalah adik Pakubuwana I sendiri. Amangkurat III dibujuk agar mengungsi, sedangkan Arya Mataram sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
Pada tanggal 17 September 1705, tahta Kartasura akhirnya jatuh ke tangan Pakubuwana I. Amangkurat III ditangkap dan ditahan di Batavia, sebelum kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Disanalah Amangkurat III akhirnya meninggal dunia pada tahun 1734.
Ketidakstabilan politik nyatanya tidak berhenti sampai disitu. Pengganti Pakubuwana I, yaitu Raden Mas Prabasuyasa atau Pakubuwana II, juga terlibat konflik dengan sejumlah pihak.
Kedatangan Baron van Imhoff sebagai Gubernur Jenderal VOC semakin memperkeruh keadaan. Pakubuwana II didesaknya agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC. Desakan ini ditentang oleh adik Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi.
Pertengkaran pun terjadi. Sampai kemudian Pangeran Mangkubumi meninggalkan Keraton Surakarta (pusat kerajaan pengganti Kartasura) dan bergabung dengan pemberontak. Perang saudara pun tidak terelakkan lagi.
Nahasnya, Pakubuwana II jatuh sakit pada tahun 1749. Kedaulatan kerajaan secara penuh diserahkannya kepada Gubernur VOC. Perjanjian ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749, sehingga sejak saat itu hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram.
Pakubuwana II akhirnya meninggal pada tanggal 20 Desember 1749 dan digantikan oleh putranya, Pakubuwana III.
Perjanjian Giyanti Memecah Mataram Menjadi Dua
Kekacauan politik yang berkepanjangan ini baru dapat mulai mereda setelah wilayah Mataram dibagi menjadi dua. Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sedangkan Kasunanan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwana III. Pembagian wilayah ini dituangkan dalam Perjanjian Giyanti, yang ditandatangani pada tanggal 13 Februari 1755.
Kelemahannya, Perjanjian Giyanti tidak melibatkan Pangeran Sambernyawa yang merupakan pimpinan kelompok pemberontak. Sehingga setelah ditandatanganinya perjanjian ini pun, konflik-konflik tetap terjadi.
Perjanjian Giyanti secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram. Nama Giyanti sendiri diambil dari nama lokasi tempat perjanjian tersebut ditandatangani, yaitu Desa Giyanti (sekarang Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar).
Berdasarkan Perjanjian Giyanti, wilayah Mataram dibagi dua. wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) menjadi hak pewaris tahta Mataram, Sunan Pakubuwana III, dan tetap berkedudukan di Surakarta. Sedangkan wilayah di sebelah barat (wilayah asli Mataram) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi (atau kemudian Sultan Hamengkubuwana I), dan berkedudukan di Yogyakarta.
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :