Filosofi Rumah Jawa Tradisional

Bagi orang Jawa, arsitektur yang berkaitan dengan seni bangunan memiliki kekhasan ragam bentuk, serta kedalaman makna filosofis.

Ragam Bentuk Arsitektur Jawa

Terdapat ragam bentuk arsitektur rumah Jawa yang hingga sekarang masih dapat disaksikan dan terus mengalami perkembangan. Adapun bangunan pokok dalam seni bangunan Jawa terbagi menjadi 5 macam, yaitu:

Panggangpe

Bangunan berbentuk panggangpe hanya memiliki atap sebelah sisi. Bangunan ini sering kita saksikan sebagai tempat jualan minuman, nasi, dan lain-lain yang terletak di tepi jalan. Apabila bangunan itu dikembangkan akan dapat difungsikan sebagai tempat ronda, garasi, pabrik, dan sebagainya.

Kampung

Bangunan kampung memiliki atap dua belah sisi dan bubungan tengah saja. Pada umumnya, bangunan kampung difungsikan sebagai tempat tinggal baik di kota, di desa, maupun di gunung.

Limasan

Bangunan limasan memiliki atap empat belah sisi dan bubungan di tengahnya. Empat bidang sisi pada bangunan limas tersebut menggunakan dudur. Dalam perkembangannya, bangunan limasan yang digunakan sebagai tempat tinggal tersebut mendapat tambahan emper (serambi) serta beberapa ruangan sehingga tercipta bentuk-bentuk sinom, kutuk ngambang, lambang gantung, trajumas, dan lain-lain. Hanya saja yang berbentuk trajumas tidak biasa digunakan sebagai tempat tinggal.

Joglo

Bangunan joglo sering disebut bangunan tikelan. Bangunan joglo memiliki saka guru dengan pemidangannya dan berblandar tumpang sari, atap empat belah sisi, dan bubungan di tengahnya. Pada umumnya, bangunan joglo hanya digunakan sebagai pendapa dan juga sebagai tempat tinggal.

Tajug

Bangunan tajug memiliki saka guru, atap empat belah sisi, dan tanpa bubungan. Dengan demikian, atap tajug tampak meruncing. Ciri yang lain, bangunan tajug memiliki blandar-blandar tumpang sari, denah bujur sangkar, dan lantainya selalu di atas tanpa bertingkat. Pada umumnya, bangunan tajug digunakan sebagai tempat suci, semisal masjid, tempat raja bertahta, atau makam. Karenanya, bangunan tajug tidak digunakan sebagai tempat tinggal.

Mengenal Filosofi Rumah Jawa

Dari ragam bentuk arsitektur di Jawa, hanya bangunan berjenis kampungan, limasan, dan joglo yang bisa dijadikan sebagai tempat hunian atau rumah. Secara filosofis, rumah yang Bahasa Jawanya omah, berasal dari kata ‘om’ dan ‘mah’. Om memiliki makna langit (bapa angkasa), dan mah memiliki makna tanah (ibu pertiwi). Dengan demikian, rumah dimaknai sebagai kesatuan kosmis antara makrokosmis dan mikrokosmis.

Rumah memiliki padanan kata dengan griya. Oleh masyarakat Jawa, griya dimaknai sebagai tempat berlindung atau berteduh sementara bagi orang-orang yang menghuni di dalamnya. Dengan demikian, rumah memiliki makna filosofis sebagai dunia yang disinggahi manusia hanya untuk sementara waktu yakni sejak kelahiran hingga kematiannya.

Suatu bangunan akan dianggap sebagai rumah Jawa, apabila memiliki ruang yang meliputi:

Pendopo

Secara filosofis, pendopo yang terbuka tanpa pembatas pada keempat sisinya itu melambangkan sikap keterbukaan pemilik rumah terhadap siapa saja yang datang. Pendopo biasa dibangun lebih tinggi. Hal ini melambangkan penghormatan tuan rumah kepada tamu-tamunya yang datang.

Bentuk pendopo tersebut pula memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam, dimana keberadaannya sebagai perwujudan konsep kerukunan hidup masyarakat Jawa.

Pringgitan

Pringgitan merupakan ruang peralihan dari pendopo menuju dalem ageng. Di ruang inilah, masyarakat Jawa sering menggelar pertunjukan wayang kulit. Secara filosofis, pringgitan memiliki makna sebagai tempat sang pemilik rumah memperlihatkan diri sebagai wayang (bayang-bayang). Artinya, manusia yang diibaratkan sebagai wayang. Dimana gerak-gerik kehidupannya sangat ditentukan Sang Dalang (Tuhan).

Dalem Ageng

Bagian dalam rumah tradisional Jawa disebut dalem ageng. Ruangan ini berbentuk persegi yang dikelilingi dinding pada keempat sisinya. Dalem ageng merupakan bagian terpenting dalam rumah tradisi Jawa sebab di dalamnya terdapat tiga senthong, yakni senthong tengen, senthong tengah, dan senthong kiwa. Fungsi senthong tengen sebagai tempat tidur anggota keluarga perempuan. Senthong kiwa berfungsi sebagai tempat tidur anggota keluarga laki-laki. Sementara senthong tengah berfungsi untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri.

Krobongan

Di ruang senthong tengah (krobongan) disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama. Di ruang krobongan yang terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling tersebut difungsikan sebagai kamar malam pertama bagi pengantin baru. Hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kamaratih.

Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan Yogyakarta, krobongan berisi bermacam-macam benda lambang yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Macam-macam benda lambang itu berbeda dengan benda-benda lambang petani. Namun keduanya mempunyai arti lambang kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya adalah Dewi Sri.

Sebagai tempat suci, krobongan memiliki kaitan erat dengan Dewi Sri yang melambangkan kesuburan dan kebahagiaan dalam rumah tangga. Di ruangan sakral itu tersimpan benda-benda pusaka yang dipercaya memiliki kekuatan magis yang dikaitkan dengan paham Hindu dan zaman neolitikum. Keberadaan krobongan menggambarkan dunia orang Jawa yang tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang keseimbangan kosmis. Keseimbangan kosmis tersebut dibangun di atas pemahaman yang selalu dalam bentuk dualitas, seperti adanya siang malam, panas dingin, utara selatan, dan laki-laki perempuan. Selain itu juga adanya makna simbolik yang mengacu pada 3, 4, atau 5 mata angin.

Gandhok dan Pawon

Ruangan di bagian belakang dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan kanan pringgitan dan dalem ageng. Juga terdapat pawon yang berfungsi sebagai dapur dan pekiwan sebagai wc/ toilet. Ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruangan-ruangan utama, apalagi dari ruangan yang bersifat sakral atau suci bagi penghuninya.

Pola organisasi ruang dalam rumah tradisi Jawa dibuat berdasarkan tingkatan atau nilai masing-masing ruang yang terurut mulai dari area publik menuju area privat (area sakral). Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed ended plan yaitu simetris keseimbangan yang berhenti dalam suatu ruang, yaitu senthong tengah.

Diambil dari: Sejarah Agama Jawa (Araska, 2019), Sri Wintala Achmad


Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :

Atau Hubungi Admin Mas Wahyu dibawah ini :