Alkisah Ki Ageng Sela bermaksud menjadi prajurit tamtama. Ia lalu dicoba diadu dengan banteng. Banteng ditempeleng sekali pecah kepalanya, darahnya muncrat.
Ki Ageng menoleh. Lalu ditanya mengapa menoleh. Ia menjawab karena terkena cipratan darah. Ki Ageng ditolak keinginannya menjadi tamtama, dinilai takut pada darah. Ia sangat malu lalu pulang dan menyiapkan senjata berniat mengamuk merusak istana Demak. Ki Ageng naik kuda diikuti temannya juga naik kuda, sedang yang berjalan kaki banyak sekali. Sesampainya di antara pohon beringin dekat alun-alun Demak lalu memanah Sultan.
Kena kepala kudanya hingga melonjak dan menubruk kuda temannya. Kuda-kuda itu berhamburan. Lalu dipanah lagi kena tali kendalinya. Kudanya lalu pulang ke Sela. Temannya juga bubar semua. Sang raja yang melihat sangat senang hatinya serta berkata pada Wanasalam, “Ternyata tipis hati Anak Mas Sela. Saya kira tidak bisa jadi Raja entah kalau keturunannya.”
Sri Sultan Demak itu berputra enam. Putra pertama, putri sudah dinikahkan dengan putranya Ki Ageng Sampang bernama Pangeran Langgar. Adiknya seorang putra bernama Pangeran Prawata. Ketika putri dinikahkan dengan Pangeran Kalinyamat. Keempat putri dinikahkan dengan Pangeran Cirebon. Kelima putri dipersunting Jaka Tingkir. Bungsu bernama Pangeran Timur.
Jaka Tingkir setelah perkawinannya lalu diangkat menjadi Bupati Pajang, diberi kedudukan tanah seluas empat ribu karya. Menghadap ke Demak tiap tahun. Tiada lama kemudian Pajang menjadi tempat yang ramai gemah ripah loh jinawi. Adipati Pajang sudah membuat istana.
Diceritakan selanjutnya bahwa Sultan Demak sudah mangkat, setelah itu Adipati Pajang diangkat menjadi sultan. Negara yang dibawah kekuasaan Demak digabung dalam kekuasaan Pajang, yang membangkang ditundukkan dengan perang. Tanah pesisir, mancanegara, bang wetan, pesisir barat semua sudah takluk kepada Pajang. Hanya ada satu yang tetap tidak mau tunduk, yaitu Adipati Jipang, bernama Arya Penangsang. Ia putra Pangeran Sekar Seda Lepen, cucu Sultan Demak. Jadi masih saudara istri Adipati Pajang. Adapun yang menguasai Negeri Demak, putra Sultan yang kedua bernama Prawata, tetapi rukun dengan Adipati Pajang. Sama-sama bisa menerima. Putra Sultan yang bungsu bernama Pangeran Timur dibawa ke Pajang lalu diangkat menjadi bupati di Madiun.
Kembali ke cerita sebelumnya, ketika Kanjeng Sultan masih berkuasa di Demak, waktu itu Ki Ageng Sela sedang pergi ke sawah membawa cangkul dalam keadaan hujan. Saat itu menjelang ashar, setibanya di sawah terus mencangkul. Baru memperoleh tiga cangkulan lalu ada kilat datang dalam rupa seorang laki-laki. Ki Ageng tahu bahwa kilat harus segera ditangkap. Kilat itu berbunyi menggelegar. Ki Ageng kukuh memegangnya. Kilat lalu diikat, diserahkan ke Demak. Kilat lalu dipenjara besi. Sang Prabu lalu memberi perintah, kilat itu tidak diperkenankan diberi air. Orang-orang Demak besar kecil semua ingin melihat. Lalu ada seorang perempuan tua memberi air dengan tempurung. Ia adalah istri dari kilat yang dipenjara itu. Kilat di dalam penjara setelah menerima air itu lalu berbunyi menggelegar, penjara besi hancur seketika, kedua kilat hilang bersama.
Diambil dari: Babad Tanah Jawi (Narasi, 2017), W. L. Olthof
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :