Candu sudah dikenal di Tanah Jawa sejak ratusan tahun silam. Bahkan sempat ada masanya dimana candu (atau disebut juga madat alias opium) merupakan komoditas perdagangan resmi. Bukan hanya kena pajak, tetapi juga dianggap penting untuk dimonopoli.
Awal Mula Pulau Jawa Mengenal Candu
Pada sekitar abad kesembilan belas, satu dari dua puluh orang Jawa diketahui menghisap candu. Padahal opium atau bunga poppy yang menjadi bahan baku madat ini tidak tumbuh di Jawa. Sehingga harus didatangkan dari negara lain, seperti Turki dan Persia.
Bila dirunut, bangsa pertama yang memperkenalkan candu ke Jawa adalah para pedagang Arab. Meskipun memang tidak ada bukti yang mampu menerangkan secara pasti, sejak kapan Tanah Jawa mulai mengenal perdagangan opium.
Sewaktu masa-masa pendudukan bangsa Eropa mulai bergulir, opium berubah menjadi komoditas yang diperebutkan. Adalah Belanda yang kemudian memenangkan hak monopoli perdagangan madat. Sedangkan alur bisnisnya sendiri dijalankan oleh para kaum elite Tionghoa.
Periode 1860-1910 tercatat sebagai masa dimana opium alias madat menjadi komoditas penting. Semenjak Belanda memenangkan monopoli, Raja Mataram yang berkuasa didesaknya agar menandatangani perjanjian khusus. Dalam perjanjian tersebut, Belanda diresmikan sebagai pemasok tunggal opium.
Setelah Mataram, giliran Cirebon tiba setahun berselang. Hanya dalam dua tahun itu, Belanda sukses meningkatkan perdagangan opium hingga mencapai 56 ton setiap tahun.
Tak pelak, perdagangan opium semakin menjamur. Terutama daerah pesisir utara Jawa, dimana terdapat pelabuhan-pelabuhan tempat komoditas ini didaratkan. Dari Batavia hingga Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura.
Perlahan opium mulai merasuk ke daerah pedalaman. Di Yogyakarta saja, tercatat ada 372 tempat yang menjajakan candu.
Ketika Candu Membelenggu Tanah Jawa
Madat tidak kenal pangkat maupun derajat. Opium perlahan berubah menjadi gaya hidup, terutama di kalangan bangsawan. Sedangkan di kalangan rakyat biasa, opium sampai dijajakan dari rumah ke rumah. Hampir setiap desa memiliki pondok opium, dimana orang bisa menghisap madat beramai-ramai.
Keadaan makin tidak terkendali, mengingat orang-orang pada masa itu membeli opium dari uang yang didapatkan dengan susah payah. Dari memeras keringat sebagai petani, pedagang, buruh atau kuli perkebunan.
Padahal sekitar tahun 1885, gaji buruh hanya berkisar 20 sen per hari. Sedangkan pembelanjaan opium rata-rata senilai 5 sen. Habislah uang mereka untuk memenuhi gaya hidup saja. Sehingga kemudian banyak orang hidupnya semakin tidak sejahtera.
Mungkin dari sini, kita kemudian mengenal istilah kecanduan.
Belanda jelas mendulang untung besar. Sebagai pemegang hak monopoli, nilai transaksi mereka mencapai angka 20 juta gulden. Pada masanya, angka ini jelas fantastis.
Selain memegang hak monopoli, Belanda juga melindungi para bandar yang berasal dari kalangan orang Cina. Diantaranya adalah Tan Kok Tong (Kediri), Tio Siong No (Solo) dan Oei Tiong Ham. Orang-orang ini menguasai peredaran opium di daerah mereka. Serta diberikan ijin untuk mendirikan pabrik pengolahan candu. Sedangkan bahan bakunya sendiri harus dibeli dari pihak Belanda.
Upaya Memerangi Pecandu
Meski jumlah pecandu semakin hari semakin besar, sebenarnya pandangan masyarakat terhadap madat tidaklah sama. Ketika itu kelompok anti madat sudah mulai berjuang memerangi opium dengan menggalakkan larangan Malima (atau dibaca juga mo-limo).
Mo-limo adalah larangan bagi kaum lelaki agar menghindari lima dosa besar. Kelimanya dimulai dari huruf M, yaitu maling (mencuri), madon (main perempuan), mabuk, main judi dan madat (menghisap opium).
Bahkan, Pakubuwono IV sempat menuliskan syair Wulang Reh (ajaran berperilaku benar). Di dalamnya ia menganjurkan orang untuk menjauhi madat.
Seiring dengan bergulirnya gerakan etis Belanda untuk meningkatkan kemakmuran warga pribumi, peredaran madat mulai dibatasi. Kesempatan pendidikan juga turut diperluas. Sejak saat itu semua urusan opium dipusatkan di Batavia, termasuk pabrik dan bandar-bandarnya. Dengan demikian penggunaan opium pun menurun.
Tetapi penyelundupan dan perdagangan gelapnya sudah pasti tetap berjalan. Bahkan hingga Pulau Jawa merdeka di bawah bendera Indonesia, perdagangan gelap narkoba ini tetap terjadi. Malah sekarang ini jenisnya bukan hanya opium saja.
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :