Babad itu beda dengan serat. Beda pula dengan suluk. Meskipun ketiganya sama-sama sering disebut dalam kaitannya dengan Sastra Jawa.
Apa bedanya Babad, Serat, dan Suluk?
Serat adalah karya sastra yang berisi tentang ajaran leluhur, dengan tujuan untuk mencapai kebaikan. Sedangkan Babad merupakan cerita rekaan yang didasarkan pada peristiwa sejarah. Adapun Suluk lebih menjurus pada ajaran agama. Karena secara harfiah sendiri istilah suluk berarti jalan. Maknanya kurang lebih adalah menempuh jalan spiritual untuk menuju ketuhanan.
Dengan demikian, maka Babad, Serat dan Suluk sesungguhnya dapat dibedakan berdasarkan bentuk (wujud) dan tujuannya.
Serat lazim ditemukan dalam bentuk tembang. Babad umumnya berupa prosa atau ganjaran (semacam cerita yang diberi nilai makna). Sedangkan Suluk merupakan karangan tasawuf.
Ciri-Ciri Babad, Serat, dan Suluk
Istilah Babad tidak hanya terdapat dalam kesusasteraan Jawa saja. Tetapi juga Sunda, Bali, Lombok dan Madura. Isinya mengisahkan tentang cerita sejarah. Secara bahasa sendiri, kata ‘babad’ artinya menebas. Merambah hutan, semak dan belukar.
Proses perambahan hutan inilah yang menjadi awal mula pembukaan tanah untuk pemukiman dan lahan pertanian. Dari pemukiman dan lahan pertanian tersebut kemudian muncul budaya serta garis keturunan. Sehingga hal-hal yang menceritakan tentang sejarah munculnya segala sesuatu dinamakan babad.
Ciri-ciri karya sastra yang berupa babad, antara lain adalah:
- Bersifat magis, sakral atau dikeramatkan
- Mengandung unsur kepercayaan
- Berhubungan dengan dewa-dewa dan alam semesta
- Mengandung mukjizat, lambang dan ramalan
- Cenderung tidak lengkap
- Berpusat di kerajaan
- Mengagungkan leluhur
- Bersifat kedaerahan, dan
- Anonim (tidak disertain nama penulis)
Berbeda dari babad yang lebih menitikberatkan pada sejarah, Serat merupakan karya sastra Jawa yang mengajarkan budi dan kebaikan sebagai pokoknya. Termasuk Serat Kalatida, karangan pujangga besar Rangga Warsita.
Kala artinya waktu, sedangkan tida artinya samar-samar. Kalatida adalah jaman samar atau jaman transisi. Antara siang menuju malam, malam menuju siang, atau antara satu pemerintahan menuju pemerintahan lain yang baru.
Dalam masa transisi ini tatanan yang lama telah menjadi usang. Padahal tatanan yang baru masih belum mapan. Tiada panutan yang jelas, hingga budi pekerti seakan dikesampingkan. Jaman samar inilah yang diharapkan memiliki obat penawar.
Lain lagi dengan suluk, yang memang isinya seputar ajaran agama. Suluk banyak ditembangkan sebagian nyanyian dalang dalam pagelaran wayang kulit. Karena memang, pada masanya wayang kulit digunakan juga untuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Konsultasi Seputar Hal Spiritual, Pelarisan dan Pengasihan, Dengan Ibu Dewi Sundari langsung dibawah ini :